[caption id="attachment_318167" align="aligncenter" width="593" caption="Jalan Roda (Beritamanado.com)"][/caption]
Sekitar15 belas tahun yang lalu, saya pergi meninggalkan kampung halaman saya. Waktu itu suasana di kota saya masih belum dapat dikatakan maju, semuanya serba sederhana, walau kini kota itu sudah sangat maju, bersaing dengan kota-kota besar di Indonesia lainnya. Saya teringat kala itu masih sering sekali naik mikrolet ‘kaca bok’. Sebutan seperti itu sangat mungkin adalah oleh karena bentuk depannya yang menyerupai kepala orang setengah botak alias dalam dialek Manado disebutkankan sebagai ‘kaca bok’.
Waktu itu, sering sepulang sekolah saya mampir sebentar di Jalan Roda. Entah sekedar demi menyeruput secangkir kopi panas, maklum saya adalah penggila kopi kelas paling ekstrem. Bisa empat sampai lima gelas besar dalam sehari. Nah, Jalan Roda (JaRod) Ini adalah tempat berkumpulnya ‘para pemikir negeri’. Begitulah saya menyebut mereka. Mulai dari level pejabat, mahasiswa, pelajar, bapak rumah tangga, sampai pedagang kelontongan ada di sana. Sambil menikmati kopi hitam, kadang kopi itu dicampur susu kental manis (mirip Kopi Kawangkoan) yang begitu terkenal di sana, para pengunjung pun rela berlama-lama membicarakan apa saja. Mulai dari pembicaraan politik tingkat tinggi, tentang sepak bola, pun sampai kepada hal-hal remeh temeh yang ringan-ringan. Kenaikan cabe keriting pun kalau ada kesempatan, pasti akan dibicarakan di sini.
Jalan roda memang sudah menjadi tempat alternatif masyarakat Manado yang hobi nongkrong dan berdiskusi. Padahal tempatnya, jauh dari kesan mentereng atau representative. Sangat sederhana. Jalan Roda hanyalah berupa sepotong jalan kecil di tengah Pasar 45, di Pusat kota Manado. Tapi entah kenapa, banyak yang begitu tergila-gila dan menyukai tempat ini. Bersisian dengan tempat peminuman kopi ini, ada juga tukang gunting rambut - barber shop jalanan, ada tukang perbaiki sepatu rusak – sol sepatu, bahkan tukang jual obat kuat, sejenis tangkur buaya dan lainnya ada di seputaran Pasar 45 ini. Ramai sekali. Padat sekali.
Jalan Roda yang terletak di Pusat Kota Manado, di seputaran Presiden Plaza, dan hanya beberapa meter saja dari titik nol kota Manado, memang adalah sebuah tempat yang mempunyai sejarah luar biasa sebagai tempat pertemuan masyarakat dari luar Kota Manado. Dinamai Jalan Roda oleh karena di jalan inilah dahulu kala masyarakat dari luar kota Manado menaruh roda mereka, sejenis gerobak atau pedati yang ditarik oleh kuda atau sapi. Di sini, para pemilik gerobak beristirahat sejenak, dan tentu saja sekaligus juga bertukar cerita di antara mereka.
Bahkan juga, menurut catatan sejarah, Jalan Roda (JaRod) ini sebenarnya sudah ada sejak zaman penjajahan Belanda, jauh sebelum tercetusnya Perang Dunia I dan Perang Dunia II. Kawasan ini dulunya merupakan pusat moda transportasi yang ditarik oleh sapi atau kuda. Di wilayah ini dari jaman dulu sudah menjadi tempat ngobrol, ngopi dan tempat makan siangnya para penarik pedati dengan roda kayu besar itu. Mereka dahulunya menyebut kawasan ini sebagai ‘stasiun pedati’.
Nah, lama kelamaan seiring dengan berjalannya waktu, lorong di belakang pertokoan itu pun tumbuh subur dengan berbagai jenis warung untuk melepas penat, santai barang sejenak, sembari menunggu saat yang terasa pas untuk pulang ke rumah.
Sejarah Jalan Roda sebagai tempat pertemuan dan bertukar cerita terus terjaga sampai saat ini, meskipun tentu saja tidak ada lagi roda yang ditarik oleh kuda dan sapi diparkir di sana. Kini sudah tergerus modernitas. Sudah digantikan ‘roda-roda mesin’ atau kita kenal sebagai mobil. Namun sejarah dan tradisi di Jalan Roda terus dilestarikan secara turun temurun dari generasi satu ke generasi selanjutnya. Ini didukung juga dengan semakin menjamurnya banyak rumah kopi di sepanjang lorong tak terlalu besar itu.
Karena itu jugalah ada sebuah tulisan yang sempat saya baca yang menyatakan bahwa dengan anatomi sosio-antropologis semacam itu maka tak heran kalau semua calon Walikota Manado pertama-tama akan menyambangi Jalan Roda, untuk memperkenalkan diri sekaligus meminta ‘restu’ dari warga Jalan Roda untuk maju sebagai calon pemimpin kota Manado. Bahkan pula katanya, calon legislatif serta berbagai macam calon lainnya, akan terus saja berdatangan ke Jalan Roda untuk mencari dukungan dan membicarakan strategi pemenangan mereka. Jalan Roda adalah sebuah keniscayaan bagi mereka yang mengincar kursi dewan atau jabatan strategis pemerintahan kota Manado.
[caption id="attachment_318169" align="aligncenter" width="653" caption="Walikota Manado dan Wakil Walikota dalam suatu acara yang dilaksanakan di sepanjang Jalan Roda (Beritamanado.com)"]
[/caption]
Lihat saja, ketika musim kampanye tiba, sama seperti saat ini, maka perbincangan di Jalan Roda akan turut memanas. Jelas saja, karena penghuni serta para ‘tukang diskusi’ di Jalan Roda akan terpecah-pecah lantaran memberi dukungan pada sosok yang berbeda-beda. Bakal dengan mudahnya kita mendengar masing-masing melontarkan sindiran satu dengan yang lain. Sindir menyindir, ejek mengejek, yang terkadang membuat muka merah dan telinga panas sudah bukan barang baru dan sesuatu yang aneh lagi.
Namun seperti apa sih kira-kira imajinasi tentang Indonesia dalam kepala ‘rakyat Jalan Roda’ itu? Mereka yang senang berdiskusi tentang Indonesia, tapi belum tentu pernah menginjakkan kakinya di ibukota negara itu? Serupakah pandangan mereka tentang Indonesia dengan mereka-mereka yang berada di pusat kekuasaan dan pusat pemerintahan dalam bayangan penentu kebijakan di pusat sana (Baca: Jakarta)?
Sesungguhnya, sejarah mereka adalah sejarah ke utara. Bisa jadi, sejumlah besar pendiskusi Jalan Roda dari kalangan bawah itu tidak pernah bersua muka dengan saudara mereka di selatan. Namun mereka itu, setidak-tidaknya sampai saat ini, masih diikat oleh imaji yang sama tentang Indonesia, tentang kesebangsaan, meskipun sepertinya hanya dalam satu komunitas yang masih hidup dalam ‘bayang-bayang’ dan atau ‘angan-angan’. Komunitas Indonesianis. Sama-sama orang Indonesia yang cinta Indonesia.
Kala itu, belasan tahun yang lalu, yang membuat saya betah dan kecanduan untuk pergi ke Jalan Roda, tentu saja adalah karena suasananya dan juga karena kopinya. Memang betul bahwa kopi di Jalan Roda adalah kopi bubuk biasa. Sepertinya tidak ada yang istimewa dari bubuk kopi itu, akan tetapi ada yang membedakan kopi Jalan Roda dengan kopi di rumah saya. Yaitu cara seduhnya. Kopi Jalan Roda, diseduh dengan cara dijerang dalam saringan kain yang ditaruh di ceret kuningan dan dipanaskan di atas bara arang sampai kopinya matang. Itulah sebabnya pula, tidak mengherankan bila Jalan Roda akan menjadi serba panas, karena perbincangan panas dan berapi-api yang selalu ditemani dengan sajian kopi panas, sekaligus menyebarnya pancaran panas dari perapian yang terus menyala dengan bara arang, dan ditiup angin ke sana ke mari.
Budaya minum kopi di Jalan Roda sangat spesial menurut saya. Di tempat ini ada sebuah istilah ketika hendak memesan kopi. Pengunjung yang sudah biasa datang akan berteriak seperti ini, “Kita pesan Kopi Stengah neh”(saya pesan ‘kopi setengah’). Atau juga, “Kita pesan Kopi Lombo neh”. Apa artinya ini? Bila kita tidak ingin minum kopi terlalu banyak, then you have to shout “Kopi Stengah”. Biasanya dengan kode mengacungkan jari telunjuk dan ujung jempol yang dilekatkan di ruas kedua jari telunjuk. Kalau Anda ingin kopi yang tidak terlalu keras alias kopi encer maka pesannya adalah “Kopi Lombo”. Sederhana dan unik.
[caption id="attachment_318171" align="aligncenter" width="638" caption="Secangkir kopi di Jalan Roda (Beritamanado.com)"]
[/caption]
Di Jalan Roda dapat ditemui kumpulan kelompok seniman, budayawan dan para jurnalis yang lagi berdiskusi hal-hal terkait pekerjaan mereka. Suasananya sangat ramai dan penuh canda tawa riang. Di bagian yang lain, kerap kali datang berkumpul para politisi atau birokrat pemerintahan. Mereka berdiskusi dengan suasana yang agak tenang. Nampak serius. Di pojok yang lain lagi, ada kelompok diskusi yang terdiri dari para pebisnis, pedagang dan pengusaha kecil. Di situ juga ada kumpulan para calo, perantara dan pedagang batu mulia. Hampir semua profesi hadir dan menjadikan tempat ini sebagai sarana mereka bertukar pikiran. Jalan Roda memang bukan jalan biasa.
Kini, setelah lima belas tahun itu, saya menyempatkan diri untuk mengunjungi kembali Jalan Roda. Tempatnya memang sudah jauh berubah, namun suasana dan rasa kopinya masih tetap sama. Terkenang dan terbayang suasana dan rasa kopi belasan tahun yang lalu itu. Aroma kopi dan aroma panasnya diskusi masih begitu kental dan sangat terasa. Saya seakan diajak untuk bernostalgia kembali. Menikmati ‘hawa panas’ Jalan Roda. Apalagi kini Jalan Roda (JaRod) ini sudah direnovasi dan dinyatakan oleh pemerintah kota Manado sebagai salah satu objek wisata kuliner. Selain kopi, ada juga sajian cemilan khas Manado, pisang goreng rica roa, dan mie cakalang juga sudah menjadi menu utama JaRod. Semuanya disajikan panas-panas dan pidis-pidis.
Setelah puas menikmati kopi dan hendak pulang, masih saja terdengar diskusi hangat seputar pemilu. Terdengar nama Jokowi, Prabowo, serta Wiranto dikupas-ulas habis-habisan oleh para pendiskusi setia JaRod. Mereka berdiskusi bak para pengamat politik handal. Suasana seperti ini sudah ibaratnya menghadirkan suasana ILC (Indonesian Lawyer’s Club) ke Jalan Roda.
Dan acap kali saya mesti termenung dalam sebuah permenungan lama. Keindonesiaan kita bisa muncul dan hadir di mana saja di seluruh pelosok negeri ini. Isi kepala kita boleh berbeda, namun kecintaan kita terhadap Indonesia harus tetap sama kuat dan sama besar.
Siapa tahu kelak, Jalan Roda akan menjadi cikal bakal lahirnya pemikiran-pemikiran hebat, untuk memastikan jalannya roda pemerintahan dan roda ekonomi di negeri ini. Jalan Roda adalah manifestasi pikiran-pikiran warga yang mencintai Indonesia, walau dengan cara yang sangat sederhana, mendiskusikan dan memikirkan tentang kebaikan Indonesia di masa datang. Semoga. ---Michael Sendow---
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H