Lihat ke Halaman Asli

Michael Sendow

TERVERIFIKASI

Writter

Budaya Ngopi, Ngompasiana dan Kesehatan Otak

Diperbarui: 23 Juni 2015   23:43

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Gaya hidup malas alias tidak aktif ternyata memiliki pengaruh pada perubahan bentuk otak kita. Ada sebuah studi yang pernah dimuat di The Journal of Comparative Neurology tentang perubahan bentuk otak secara signifikan diakibatkan oleh gaya hidup tidak aktif. Penemuan ini mau tidak mau membuka alam kesadaran kita tentang betapa pentingnya hidup sehat, dengan selalu bergerak dan beraktifitas. Otak juga harus dirangsang untuk berbikir dan memecahkan persoalan demi persoalan.

Beberapa puluh tahun lalu, banyak ilmuwan yang percaya bahwa struktur otak tidak bisa berubah lagi ketika kita sudah mencapai usia dewasa. Bahwa diri kita tidak bisa lagi menciptakan sel otak baru, ataupun mengubah bentuk sel yang sudah ada di dalam otak kita. Namun seiring perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan, kini studi neorologi menunjukkan hal yang sebaliknya. Otak kita itu ternyata memiliki plastisitas, yaitu kemampuan untuk dibentuk ulang selama kita masih bernafas hidup.

Sejumlah ilmuwan dari Wayne State University School of Medicine telah melakukan eksperimen terhadap sejumlah tikus untuk membuktikan asumsi mereka itu. Setengah dari tikus-tikus tersebut kemudian diletakkan pada kurungan yang dilengkapi roda yang terus menerus bergerak. Mereka berlari-lari sejauh 4.8 kilometer per hari. Tikus-tikus yang lain ditempatkan di kandang yang tidak ada rodanya, sehingga mereka hanya bisa bermalas-malasan saja. Makan dan tidur. Hasilnya? Neuron otak pada tikus yang bergerak terus setiap hari ternyata berfungsi secara normal bahkan lebih baik lagi setelah 3 bulan percobaan. Dan tikus-tikus yang hanya bermalas-malasan saja, neuron otak mereka memiliki cabang-cabang baru hingga menyebabkan penurunan kinerja otak. Percobaan pada tikus ini diyakini memiliki implikasi yang sama dengan manusia. Meskipun, tentu saja, amit-amit deh bila kita ini disamain dengan tikus.

Nah, ngompasiana (baca: beraktivitas di Kompasiana) ternyata adalah salah satu sarana memfungsikan serta menyehatkan otak itu. Selain berolahraga, kita juga perlu terus menerus melatih daya pikir dan kepekaan otak kita. Menulis dan membaca di Kompasiana memberi kita cukup asupan untuk dapat disebut selalu ‘sehat pikir’. Dan juga terlatih untuk adu argumentasi dengan ‘daya ledak’ luar biasa. Ini tidak lain adalah oleh karena apapundapat ditemukan di Kompasiana secara mudah. Membuat otak kita bekerja keras memahami sebuah posting yang lagi dibaca, melatih otak kita menelusuri buah-buah pemikiran dengan daya pikat tersendiri dari begitu banyak kompasianer, melatih otak mencerna serta memilah-milih posting yang faktual maupun yang tidak. Di lain pihak, serempak Kompasiana juga kadang membuat kita tersenyum, tertawa terpingkal-pingkal, dan menangis sedih mengharu biru. Inilah etalase lengkap di dunia media sosial. Etalase yang mendagangkan apa saja. Dari politik sampai sosial budaya. Dari berita terhangat sampai kepada fiksi dan dongeng. Ulasan dari Sabang sampai Merauke, dan dari ujung dunia satu ke ujung dunia yang lain. Lebih dari ratusan ide tulisan setiap harinya muncul dari isi kepala (otak) tak kurang dari ratusan kompasianer di antara 120-an ribu kompasianer yang terdaftar.

Kebiasaan saya lain lagi. Sebelum ngompasiana (membaca, menulis dan memberi komentar di Kompasiana), selalu saja harus sudah tersedia dulu kopi hitam pun kopi susu. Ngompasiana tanpa ngopi serasa makan nasi tanpa lauk, atau tidur tanpa bantal. Rasa-rasanya kurang pas dan kurang oke. Lantas apa sih keuntungan ngopi? Bukankah kopi itu mengandung kafein atau alkaloid, yaitu senyawa trimethylxanthine, inilah yang membuat kopi terasa pahit dan nikmat. Efek utama dari kafein adalah stimulansia dan ergogenic. Kafein akan membuat Anda tidak mengantuk. Hal ini disebabkan oleh kafein yang menutup kerja adenonsin sehingga sel otak menjadi aktif, dan pembuluh darah tidak melebar.

Menurut Dr. Seymour Diamond dari Diamond Headache Clinic di Amerika, bahwa kandungan kafein pada kopi dapat menghilangkan rasa lelah, membuyarkan rasa ngantuk, serta meningkatkan kewaspadaan saraf motorik. Itulah mungkin yang menyebabkan ‘energisitas’ saya dalam menulis menjadi begitu kuat tatkala ngopi. Lihat saja, sekarang ini pun di depan meja saya tersaji segelas tinggi (bukan secangkir lho) ‘Kopi Kawangkoan’ racikan tangan saya sendiri. Enak dan nikmat sangat. Perlu diketahui, Kopi Kawangkoan itu adalah racikan kopi asli Minahasa, sangat terkenal sampai luar negeri. Di daerah Kelapa Gading Jakarta ternyata sudah ada ‘cabang’ Kopi Kawangkoan juga. Saya pernah mencobanya.

Lantas kapan sih waktu minum kopi yang paling pas? Tadinya saya menganggap, bangun pagi adalah saat paling pas menikmati segelas kopi. Namun ternyata, menurut Steven Miller, seorang kandidat Doktor di Uniformed Services University of the Health Sciences, waktu terbaik minum kopi adalah saat tingkat kortisol dalam tubuh sedang turun. Kortisol adalah hormon yang membuat kita awas dan terjaga. Menurut dia, paling pas ngopi itu adalah pada sekitar jam 9.00-11.00 dan 13.00-17.00. Ketika badan mulai ‘layu’ alias ngantuk dan kurang terjaga. Apapun itu, minumlah kopi senantiasa. Niscaya aktivitas Anda akan semakin dahsyat. Kayak bunyi iklan kopi yah?

Ngomong-ngomong, saya jadi teringat kisah waktu saya ke Semarang beberapa waktu yang lalu. Waktu itu, saya menyempatkan diri untuk ngopi di sebuah kedai kopi di Simpang Lima. Dalam kedai kopi itu saya kemudian berkenalan dan banyak bercerita dengan seorang pengusaha muda. Kita ngobrol panjang lebar, bahkan saling tukar kartu nama. Saya sempat mengajaknya untuk bergabung di Kompasiana. Katanya dia sih sudah pernah baca-baca Kompasiana walaupun belum menjadi anggota. Waktulah yang membatasi dirinya untuk menulis.

Kawan baru saya itu ternyata adalah seorang coffee lover juga. Inilah mungkin yang menjadikan kita begitu cocok bertukar cerita. Kita membahas secara sederhana tentang kualitas kopi Indonesia, Kolombia, dan Amerika. Kebetulan kita berdua pernah mencoba kopi di beberapa negara. Saya bilang bahwa ketika pertama kali mencicipi kopi Malaysia di RM. Siantar Jakarta kepala saya langsung pening, padahal kopi itu nikmat sekali rasanya. Setelah mencobanya ke dua kali, langsung ketagihan sayanya. Kopi Luwak pun tidak luput dari pembahasan kami. Menarik sekaligus mengasyikan berbincang-bincang dengan kenalan baru. Selain punya teman baru, saya juga mendapat rekan bisnis baru. Ini namanya sekali mendayung, dua pulau terlampaui. Ngopi bareng ternyata mendatangkan manfaat. Sama halnya dengan ngompasiana bareng pastinya.

Di akhir percakapan kami, kawan saya bercerita tentang salah satu usahanya jual beli ikan Arwana. Ada cerita lucu di balik bisnis ikannya itu. Ikan yang begitu terkenal ini (mungkin karena pakai nama Arwana makanya si Tukul jadi terkenal juga yah?) harganya luar biasa mahal. Yang kecilnya saja bisa mencapai 5 jutaan, dan yang besar dijual sampai ratusan juta bahkan ada yang mencapai 1 miliar. Pernah saya lihat dipamerkan di Mall Kelapa Gading (MKG) Jakarta soalnya.

Apa yang menarik dari ceritanya itu? Bukan hanya karena harga ikan yang mahal. Ada cerita lucu. Begini, katanya pernah suatu kali ia membeli satu ekor ikan Arwana seharga 10 juta. Ikan Arwana yang dibeli ukurannya sedang saja. Nah, ikan itu dibungkus plastik yang sudah diisi air. Sampai rumah, karena buru-buru untuk sebuah urusan rapat bisnis, ia meletakkan ikan itu begitu saja di atas meja ruang keluarga, masih tetap dibiarkan dalam plastik. Tapi ketika pulang dari pertemuan ia tidak melihat ikan Arwana itu di atas mejanya. Maka bertanyalah ia kepada pembantu rumahnya, “Bi, mana ikan yang saya baru beli tadi…?” Dengan wajah tidak bersalah pembantunya nyeletuk, “Sudah saya masak pak tadi….itu udah ada di meja makan…” Alamak! Kawan saya bilang pada saat itu ia hanya bisa tertawa miris dan sekaligus bersedih hati.

Dia bilang bahwa dalam sejarah hidupnya, itulah makan malam dia yang paling mahal. Di atas piring di depan wajahnya tersaji ikan yang sudah digoreng seharga 10 juta. Mau tidak mau, ia makan ikan itu juga akhirnya, tentu dengan perasaan campur aduk sedih. Saya tertawa mendengar ceritanya itu. Percakapan usai sudah, dan kami pun meninggalkan kedai kopi di Simpang Lima menuju hotel masing-masing.

Ayo, kita tinggalin segera gaya hidup malas. Di sela-sela aktivitas kita, munculkan kebersamaan lewat ngopi dan ngompasiana. Jangan kita heran kalau banyak terjadi kopdar alias kopi darat sesama kompasianer di sepanjang berdirinya Kompasiana. Dalam bentuk apapun itu. Membangun kebersamaan lewat kopdar tentu bagus juga, apalagi sembari ngopi hehehe. Saya sudah dua kali melakukannya. Pertama kali adalah di sebuah pojokan Red Rose Café di bilangan Pulomas Rawamangun, kala itu bersama penulis handal, Kompasianer Herman Hasyim, dan hadir juga Kompasianer bernama RDP.

Gaya hidup baru ngompasiana dan ngopi bareng memang asyik. Dan semakin membudaya. Apalagi bila dengan itu, lantas kemudian kinerja otak kita menjadi seperti tikus-tikus percobaan di awal tulisan saya tadi. Bukan diri kita yang menjadi seperti tikus lho, jangan salah cerna yah. Tikus juga kan nggak ada yang ngopi, apalagi ngompasiana. Hehehehe…..Tentulah!---Michael Sendow---

Yuk kita ngopi sambil ngompasiana atau ngompasiana sambil ngopi….Cheers!




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline