Lihat ke Halaman Asli

Michael Sendow

TERVERIFIKASI

Writter

Perusahan Asing Harus Hati-hati Melakukan PHK

Diperbarui: 23 Juni 2015   22:50

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) bisa jadi adalah hal yang paling ditakuti seorang pekerja dan buruh. Ini jelas saja, mengingat nasib para pekerja dan buruh akan hancur berantakan ketika mendapatkan surat pemutusan hubungan kerja. Apalagi bagi mereka yang kurang memiliki ketrampilan. Bila tidak mendapatkan pekerjaan baru, maka pengangguran sudah pasti menanti di depan mata.

Memang betul bahwa PHK itu dihalalkan di Indonesia ini. Tapi ingat betul, bahwa PHK ada rambunya dan ada aturan mainnya. Tidak serta merta PHK dapat dilakukan di setiap saat dan tempat. Menurut UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan), maka PHK dibahasakan sebagai pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja dan pengusaha.

Ada dua jenis PHK. Pertama PHK secara sukarela dan yang kedua adalah PHK dengan tidak sukarela (PHK sepihak). Ada banyak alasan penyebab putusnya hubungan kerja yang dapat kita lihat dalam UU Ketenagakerjaan. PHK bisa saja karena sukarela, yaitu dapat diartikan sebagai pengunduran diri buruh tanpa paksaan dan tekanan apapun. Bisa juga karena habisnya masa kontrak, tidak lulus masa percobaan (probation), pensiun, dan atau meninggal dunia.

PHK sepihak terjadi antara lain oleh karena buruh melakukan kesalahan berat seperti mencuri atau menggelapkan uang milik perusahaan. Bisa juga bila si pekerja telah melakukan perbuatan asusila atau berjudi di tempat kerja. Dan tidak boleh sembarangan memecat orang. Pelanggaran berat itupun di atur dalam pasal 158 UU Ketenagakerjaan. Pasal ini sudah pernah diajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi. Hasilnya? Mahkamah Konstitusi dalam putusannya menyatakan bahwa kesalahan berat yang dituduhkan kepada buruh harus dibuktikan terlebih dulu oleh putusan peradilan pidana di pengadilan umum. Harus ada bukti kuat yang mendukung tuduhan tersebut.

Perusahaan Harus Berhati-hati Dalam Melakukan PHK

Sudah sangat jelas bahwa tidak ada buruh atau karyawan yang mau di-PHK. Terkecuali dia memang mau berhenti. Karena itu pulalah, ketika ada pengusaha/ perusahaan hendak memutuskan hubungan kerja, buruh/ pekerja pasti akan mati-matian mempertahankan pekerjaan dan semua hak yang dimilikinya.

Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) yang diberikan kewenangan oleh UU No 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (UU PPHI) sampai detik ini memang menunjukkan angka yang signifikan dalam menyelesaikan perkara perselisihan PHK dibanding perselisihan lain apapun itu.

Nah, dalam kenyataannya ada satu alasan yang paling sering digunakan pengusaha untuk menjatuhkan PHK yaitu masalah efesiensi. Namun lucunya, masalah efisiensi ini sering bukan menjadi alasan yang jujur. Lihat saja, ada perusahaan mem-PHK seseorang dengan alasan perusahaan merugi serta perlu pengurangan, tapi nyatanya perusahaan lagi mengalami keuntungan. Ada juga yang mem-PHK orang dengan alasan pengurangan, tapi nyatanya perusahaan malah menerima karyawan baru.

Ada beberapa contoh kasus perusahan yang notabene dari luar (perusahaan asing), namun bertindak seenak udel terhadap karyawan warga negara Indonesia. Ini memalukan. Dan maaf kata, memakai bahasa saya, ini ‘menjijikkan’. Kepada perusahaan-perusahaan asing tersebut mestinya diberi ‘peluru’ khusus. Artinya begini. Jangan berlaku semau gue di negeri orang. Indonesia punya Undang-Undang Ketenagakerjaan, dan semua perusahaan asing mesti tunduk olehnya. Bukan malah bikin peraturan sendiri dalam memecat karyawan.

Perusahaan Asing Perlu Perhatikan yang Ini

Kalau kita merujuk pada pasal 151 UU Ketenagakerjaan tahun 2003 menjelaskan secara eksplisit. Article 151 of the Indonesia’ Manpower Law (Labor Laws) No. 13 - 2003 which explains that workers and employers should make every effort to avoid layoffs. Even if somehow layoffs are inevitable, workers and employers have to negotiate to find a deal. If the talks are still stuck or unresolved, then the layoffs could be made after the determination (result) of the Industrial Dispute Settlement Institutions (Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial – LPPHI)

Sebagai tambahan, this is also a requirement to conduct layoffs in Article 161 paragraph (1) Labor’ Law, "that the employer may terminate the employment’ relationship, after the worker / laborer is given a first, second, and third warning letter in a row."


To the termination of the work done without the consent of Labor Dispute Settlement Institutions, the layoff (termination) becomes null and void. And it is, therefore is considered at all layoffs (termination) never existed as defined in Article 155 paragraph (1) Labor’ Law.


Article 158, paragraph 1 reads as this, "
An entrepreneur/ company may terminate the employment of a worker/ laborer because the worker/laborer has committed the following grave wrongdoings”:

1. Stolen or smuggled goods and/or money that belong to the enterprise;

2. Given false or falsified information that causes the enterprise to incur losses;

3. Drunk, drunken intoxicating alcoholic drinks, consumed and or distributed narcotics, psychotropic substances and other addictive substances in the working environment;

4. Committed immorality/indecency or gambled in the working environment;

5. Sttacked, battered, threatened, or intimidated his or her co-workers or the entrepreneur in the working environment;

6. Persuaded his or her co-workers or the entrepreneur to do something that against laws and regulations;

7. Carelessly or intentionally damaging or let in danger of company goods that cause harm to the company;

8. Carelessly or intentionally destroyed or let the property of the entrepreneur exposed to danger, which caused the enterprise to incur losses;

9. Intentionally or carelessly let his or her co-workers or the entrepreneur exposed to danger in the workplace;

10. Unveiled or leaked the enterprise’s secrets, which is supposed to keep secret unless otherwise required by the State; or

11. Committed other wrongdoings within the working environment, which call for imprisonment for 5 (five) years or more. (---And all of the evidence must be proven valid, and must have a strong evidence in place---)

Dalam melakukan PHK, harus jelas dan tepat. Bila karyawan tidak melakukan kesalahan, maka perusahaan tidak boleh seenak udel mengeluarkan surat Pemutusan Hubungan Kerja. Kalaupun itu terjadi, maka segala tuntutan karyawan harus diperhatikan, dan diberikan. Kalau tidak, ya perkara dapat dibawa serta diajukan ke pengadilan. Dan saya amat yakin, Dinas Tenaga Kerja, LPPHI, dan bahkan Pengadilan pasti akan memihak karyawan yang adalah warga negara Indonesia, bukan perusahaan asing yang ‘hanya’ mengeruk keuntungan di negeri kaya bernama Indonesia ini. Bisa-bisa ijin usahanya di Indonesia dicabut, dan perusahaannya ditendang balik ke negara asal. Semoga. ---Michael Sendow---

Sumber Bacaan: hukumonline.com & UU Ketenagakerjaan Tahun 2003

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline