Di tengah hiruk pikuk menyaksikan sang jagoan beradu hebat di laga Piala Dunia. Berbarengan pula dengan hiruk pikuk keras dan ketatnya kampanye pilpres 2014 ini, yang kini sudah memasuki masa tenang, saya dan beberapa teman menyisihkan waktu untuk berkunjung ke salah satu panti asuhan di daerah Cibubur. Nama panti asuhan itu KDM, kependekan dari Kampus Diakoneia Modern. Entahlah, tapi menurut ketua yayasan KDM, diberi nama demikian adalah oleh karena KDM didirikan tidak dimaksudkan ‘hanya’ untuk menampung anak-anak jalanan dan anak-anak terbuang, tetapi tempat ini adalah tempat mereka untuk belajar, berbagi, dan kelak menjadi orang yang berguna. Mungkin karena itu pulalah maka diberi nama “kampus”.
Anak jalanan adalah kelompok yang sangat rentan mendapatkankan perlakuan tindak kekerasan secara fisik, emosional, seksual, dan juga penelantaran serta eksploitasi. Di Jakarta sendiri, hingga saat ini sedikitnya ada sekitar lebih dari 12.000 anak yang beraktifitas dan bekerja di jalan. Anak-anak ini tidak mendapatkan haknya sebagai seorang anak oleh karena mereka ditelantarkan, masyarakat sekitar, dan atau oleh keluarganya sendiri. Anak-anak ini sering terbiarkan oleh lingkungannya, bahkan terkesan dibiarkan oleh negara.
Anak-anak yang ditampung dan dididik oleh KDM, datang dari berbagai kelompok usia dan latar belakang. Ada seorang anak kecil yang terang-terangan dibuang oleh keluarganya. Ada yang diambil dari lampu merah jalan, dimana anak itu dipaksa untuk mencari duit dengan menjual apa saja. Ada juga yang disuruh minta-minta di sepanjang jalan dan duitnya dikumpulkan oleh ‘bandar’ mereka. Ada yang mendapat penolakan ini dan penolakan itu. Bayangkan saja, ada anak yang sudah ditampung dan dirawat kemudian ketika suatu waktu diantar untuk dipertemukan dengan ayah dan ibunya, namun secara terang-terangan anak itu ditolak oleh keluarga. Oleh orang yang sudah mengandung dan melahirkannya. Ini benar-benar menyakitkan, banyak anak-anak yang trauma ketika kita bertanya pada mereka tentang ayah dan ibunya. Mereka trauma ditolak. Mereka sakit dan terpukul mendapat penolakan oleh orang tua mereka sendiri, karenanya enggan mereka membicarakan hal itu.
[caption id="attachment_332636" align="aligncenter" width="459" caption="KDM berupaya menjadikan anak jalanan sebagai tenaga terampil dan siap pakai..."]
[/caption]
KDM rupa-rupanya telah menunjukkan konsistensinya dalam mendukung pemenuhan hak-hak anak jalanan. Dengan pengalaman selama lebih dari 40 tahun, KDM sudah melayani anak-anak jalanan di wilayah Jakarta dan sekitarnya selama itu, dengan tentu saja menyediakan tempat tinggal, makanan, dan juga pendidikan. Mereka tidak hanya ditampung, namun juga didik dan dibekali dengan pengetahuan serta ketrampilan memadai. Makanya tempat ini lebih tepat disebut panti pendidikan, bukan sekedar panti asuhan apalagi panti penampungan.
Uang memang adalah daya tarik utama mengapa anak-anak ini memilih untuk tinggal dan bekerja di jalanan. Umpamanya, menurut data yang saya peroleh bahwa anak-anak jalanan ini biasanya memperoleh penghasilan antara Rp.100.000 sampai Rp. 200.000 setiap harinya. Bayangkan saja, dengan jumlah anak jalanan di Jakarta yang tak kurang dari 12 ribu anak itu, maka sedikitnya tak kurang dari 2.4 miliar rupiah uang yang berputar di jalanan Jakarta, yang terus disasar para anak jalanan ini, atas kemauan sendiri pun oleh paksaan orang lain. Tapi justru karena tawaran mendapatkan uang di jalan, maka anak-anak ini lamban laun ‘terjebak’ dan merasa nyaman untuk terus hidup dan mengais rupiah di setiap sudut lampu merah, di jalanan yang ramai, dan di halte-halte pemberian. Mereka merasa ‘nyaman’ ada di sana.
Kenyamanan serta tiadanya pilihan lain, serempak membuat anak-anak ini akan bertahan hidup di jalan, yang sesungguhnya membuat mereka sangat rentan untuk dieksploitasi. Perlu kesadaran kita bersama untuk tidak memberikan uang di jalan. Anak-anak ini semestinya dipelihara oleh negara dan mendapat kesempatan-kesempatan yang sama dengan anak-anak dari keluarga berkecukupan lainnya. Mereka seharusnya bersekolah, belajar, bermain bersama, dan membangun masa depan mereka dengan lebih cerah. Bayangkan bila mereka harus hidup sedemikian rupa di jalanan sampai usia dewasa. Akan jadi apa anak-anak ini kelak di kemudian hari? Kelak bukan tidak mungkin anak-anak yang besar di jalanan ini akan menjadi pembuat onar dan preman jalanan.
Jangan Beri Mereka Uang, Berilah Kesempatan
Apa yang harus kita ditawarkan kepada mereka? Kepada anak-anak jalanan ini mestinya yang ditawarkan adalah kesempatan. Ya, kesempatan untuk belajar, kesempatan untuk bermain, kesempatan untuk hidup layak, dan kesempatan untuk menjadi diri mereka sendiri. Itulah yang ditawarkan dan diberikan Yayasan KDM. Mereka juga menyiapkan ruang-ruang kelas di mana anak-anak ini dapat belajar. Ada kelas ‘hijau’, ‘kuning’, dan ‘merah’. Mungkin dapat dibilang setara SD, SMP, dan SMA. Setelah itu maka anak-anak ini kemudian akan disiapkan untuk menjadi tenaga-tenaga muda yang terampil melalui “kelas entrepreneur”.
Di dalam bangunan sederhana itu saya coba masuk ke salah satu kelas yang tersedia di sana. Ada meja belajar, ada rak buku, ada papan tulis, dan ada banyak alat bermain serta bahan peraga lainnya. Di kelas inilah para anak jalanan itu didik sesuai usia dan kecakapan mereka. Perhatian dan kasih sayang benar-benar dibutuhkan oleh anak-anak ini. Saya kemudian melihat-lihat workshop dimana anak-anak kelas entrepreneur balajar dan bekerja.
Kemudian saya melihat-lihat ruang pertemuan tak terlalu besar, semacam aula kecil yang kayaknya jarang dipakai, ada sarang laba-laba menempel di beberapa sudut dinding. Saya kemudian berjalan balik ke kelas yang pertama saya lihat tadi. Melihat-lihat cukup lama di situ. Sementara saya tercenung dengan pemandangan kelas belajar yang sangat sederhana itu, tiba-tiba tangan saya dipegang dari belakang. Dari lirikan mata, saya melihat ada seorang anak perempuan kecil, masih berusia sekitar 7 tahun menarik-narik tangan saya dan tersenyum manis. Saya membalas senyumannya itu.
Saya ajak anak perempuan kecil itu untuk bicara banyak hal. Ia sangat senang diajak bicara. Mulai dari makanan kesukaannya, warna kesukaannya, sampai apa cita-citanya kalau besar nanti. Anak ini adalah salah korban korban penolakan orang tua. Dia lantas mulai bicara dengan begitu cerianya, keriangannya nampak sekali diwajahnya. Warna kesukaannya biru, dan ia sangat ingin menjadi dokter kalau besar nanti supaya dapat mengobati banyak orang sakit. Katanya lagi, dia sangat senang tinggal di situ, karena ada banyak teman-teman yang dapat saling menolong, yang dianggap sebagai kakak-kakaknya sendiri. Di situ juga tempat mereka berbagi cerita tanpa pernah lagi melihat asal usul.
Dia berujar, “Aku suka di sini, banyak teman, kita bermain bersama, makan bersama, tidur pun bersama-sama…” Dia bilang, ada sebuah taman bermain bola di halaman samping, dimana dia dan teman-teman dapat bermain riang gembira, seakan hidup dalam satu keluarga yang bahagia. Tentu saja sesuatu yang tidak ia dapatkan di luar sana. Dia juga menceritakan, bahwa mereka akan sangat senang bilamana ada kunjungan dari luar, seakan sementara menyambut keluarga yang datang berkunjung.
Tetapi diakhir perbincangan kami, dia merapat semakin dekat, lalu berbicara sangat pelan, “….Tapi aku sedih, aku nggak mau lagi keluar dari sini…aku takut….”. Terbata-bata ia mengucapkan kalimat itu. Ternyata si kecil ini sudah sangat trauma karena ditolak oleh orang yang sudah melahirkan dirinya. Kesannya ia akan ditolak dan selalu ditolak. Saya lalu menggendong anak kecil itu berjalan keluar dari dalam kelas, ia terisak-isak kecil sambil memukul-mukul dada saya. Sungguh tak tega melihat anak-anak ini, mereka butuh perhatian dan kasih sayang. Hati siapa yang tak akan tersayat melihat anak sekecil ini harus bersedih hati seperti itu. Bukan main, dalam hati saya berpikir, ada banyak orang yang sangat mengharapkan untuk punya anak, tapi ada juga yang ternyata tidak menginginkan anak kandungnya sendiri. Betapa menyedihkan.
[caption id="attachment_332637" align="aligncenter" width="512" caption="Mendengarkan harapan-harapan anak jalanan yang sudah berhasil dirangkul oleh Yayasan KDM. Ruzlan duduk paling kanan, sudah 16 tahun dan punya cita-cita jadi pengusaha"]
[/caption]
Dalam kunjungan ini, saya mendapatkan kesempatan untuk bercerita dan berdiskusi banyak hal dengan anak-anak jalanan yang sebetulnya butuh kesempatan dan kasih sayang. Saya berdoa dalam hati, siapapun Presiden yang terpilih nanti, perhatian terhadap nasib anak-anak jalanan, anak-anak orang miskin, anak-anak yang terbuang dan anak-anak yang terlantar ini akan benar-benar mendapat perhatian lebih. Terutama kesempatan mereka untuk belajar.
Oprah Winfrey sekali waktu pernah berkata, “Education is the way to move mountains, to build bridges, to change the world. Education is the path to the future. I believed that education is indeed freedom.” Pendidikan adalah jalan kita memindahkan ‘gunung’. Pendidikan adalah jembatan kita untuk mengubah dunia. Anak-anak jalanan ini juga berhak untuk memindahkan ‘gunung-gunung’ persoalan dalam kehidupan mereka. Dan, mereka juga memiliki hak untuk ‘mengubah dunia’. Setidaknya mengubah dunia mereka yang terlanjur kelam dan gelap sebagai anak jalanan.
Masa Depan Anak Jalanan
Pada tanggal 23 Juli nanti kita akan merayakan hari anak nasional, mungkin kita di Indonesia masih kurang menghargai hari anak nasional, tapi sejenak kita mesti memikirkan peran kita dalam mengangkat derajat anak-anak ini, terlebih mereka yang hidup di jalanan. Pada tanggal 20 November nanti, dunia akan pula merayakan Hari Anak Sedunia (Universal Children’s Day). Untuk itu saya mengajak kita kembali membaca apa yang dikatakan oleh seseorang yang sangat peduli terhadap anak-anak, Patricia Aquirre, dia bilang begini, “We should preserve in adults the confident and joyful attitude of small children…”Orang dewasa agaknya memang harus belajar dari keriang-gembiraan anak-anak kecil itu. Dengan pertama-tama, ya mengembalikan kepercayaan diri dan keriang-gembiraan yang hilang dari dalam diri anak-anak jalanan itu.
Sewaktu mendirikan Kerukunan Keluarga Nusantara tempo hari di New York, Amerika, saya dan beberapa teman kemudian langsung menyusun program kerja, salah satunya adalah menyantuni anak-anak kurang mampu di Kalimantan dan Papua. Kami kemudian mengangkat beberapa anak kurang mampu di Papua sebagai anak asuh ‘Nusantara’. Ini tentu karena kami merasa betapa pentingnya perhatian kita terhadap nasib dan masa depan anak-anak ini. Saya juga kemudian sempat melibatkan diri di Children International, sebuah organisasi yang sangat peduli terhadap anak-anak yang kurang beruntung, dan akhirnya mendapat satu ‘anak asuh’ yang sangat manis asal negara Chile.
Dengan menyadari betapa berharganya anak-anak ini buat masa depan suatu bangsa, dengan sendirinya kerap kali akan membuat ruang-ruang dalam hati kita mesti tersentuh, apalagi melihat masih kurangnya kesempatan anak-anak ini terhadap banyak hal. Mereka yang masih mengais rejeki di palataran parkir, di lampu merah jalan-jalan ibu kota, di bawah jembatan sambil memulung sampah, menjajakan koran dan botol air mineral di sudut-sudut kota. Padahal mereka itu butuh belajar, dan bermain selayaknya anak-anak susia mereka.
Ruzlan, seorang anak remaja yang sudah bertahun-tahun tinggal di KDM bercerita tentang perjuangannya untuk menjadi orang yang berguna. “Kak, saya ingin menjadi orang yang berhasil dan berguna bagi banyak orang….saya ingin bekerja dan sukses”. Dengan polos dan bersemangat ia berkata-kata kepada saya. Harapan Ruzlan tentu juga mewakili puluhan anak yang sementara dididik di KDM tersebut.
Ruzlan menjelaskan bahwa sekarang ia sudah berada di kelas entrepreneur. Di kelas ini mereka diajar dan belajar ‘industri kreatif’. Mereka membuat banyak pekerjaan tangan yang layak diapresiasi. Misalnya saja, dari botol-botol bekas yang dikumpulkan kemudian di-recycle dan dibuat perhiasan, barang-barang ukiran, dan tatakan gelas. Ada juga kertas-kertas bekas yang lalu di-recycle untuk dijadikan tas dan kerajinan tangan lainnya. Plastik bekas diubah menjadi alas tempat duduk. Barang-barang bekas dijadikan tembikar, dan masih banyak lainnya. Anak-anak ini sungguh kreatif dalam berkarya.
Saya bercerita panjang lebar dengan Ruzlan. Ia begitu sopan dan santun. Bahkan ia dapat berbahasa Inggris sedikit-sedikit. Katanya ia sempat belajar Bahasa Inggris sedikit saja ketika ada kunjungan dari seorang insinyur dari Belanda, yang datang berkunjung dan menyumbangkan alat pemotong kaca. Ia juga mengatakan keinginannya untuk berperan menjangkau anak-anak jalanan lain yang belum berkesempatan mengecap pembelajaran seperti dirinya. Karena ia berasal dari anak jalanan, maka ia berharap suatu saat nanti akan semakin banyak anak jalanan yang mendapatkan kesempatan memperjuangkan hidup mereka.
Ruzlan adalah satu dari sekian banyak anak jalanan, yang terbuang dan terpinggirkan, yang kemudian merasa bahwa sebetulnya diri mereka dapat berguna bagi banyak orang. Bahwa sebenarnya mereka dapat menjadi orang-orang yang berhasil dalam hidup. Setelah 40 tahun dalam pengabdian, KDM sudah menghasilkan banyak anak-anak jalanan yang sukses menggapai mimpi. Tinggal sedikit langkah lagi, Ruzlan akan dapat mewujudkan impiannya itu. Ada yang setelah keluar dari KDM membuka bengkel sendiri. Ada yang bekerja sebagai sopir. Ada yang menjadi karyawan di perusahaan swasta. Bahkan ada yang sudah menjadi salah seorang Manager di Hotel Harris.
Kepedulian kita terhadap anak-anak kurang mampu, dan anak-anak jalanan ini benar-benar sangat diharapkan di negeri kita ini, yang tingkat kemiskinannya masih sangat tinggi. Every child deserves a chance at a life filled with love, laugh, friends and family (setiap anak berhak mendapatkan kesempatan untuk memiliki hidup yang dipenuhi cinta, tawa, teman-teman dan keluarga) demikian Marlo Thomas berpesan jauh sebelum kita lahir ke dunia ini.
Tidakkah hati kita akan tergetar melihat seorang anak perempuan kurus, dan terlihat seperti tinggal tulang dibungkus kulit berjalan meminta-minta di pinggir jalan, entah karena dipaksa atau karena terpaksa demi mendapatkan makan? Atau tidakkah kita merasa terpanggil, ketika kita sementara menyantap ayam goreng dengan lahapnya di rumah makan bersama anak-anak kita, sementara itu di sudut jalan sana, ada seorang anak laki-laki dengan baju compang-camping menatap nanar ke arah kita, atau lebih tepat menatap ayam goreng yang kita pegangdan siap dimakan? Apakah negara akan tega membiarkan anak-anak diusia belajar mereka, terbakar terik matahari, dan basah kuyub oleh air hujan, dimanfaatkan orang mengais rupiah di jalanan? Negara kita akan dianggap ‘negara buta’ bila terus menutup mata terhadap fenomena anak jalanan ini. Bukankah fakir miskin dan anak-anak terlantar sudah seharusnya dipelihara oleh negara?
Saya pernah melihat seorang anak kecil di daerah Rawamangun, mungkin berusia 8 atau 9 tahun sementara mendorong-dorong gerobak kecil, dan ternyata di dalam gerobak itu ada bapaknya yang sudah tua dan ringkih tertidur lesu. Wajahnya pucat. Sewaktu saya hampiri, belum saya tanya apa-apa anak itu sudah berkata dengan terputus-putus, “Bapakku sakit om, kami belum makan-makan….…bapak tidak punya duit, tidak punya obat…” Inilah potret kehidupan belasan ribu anak-anak terlantar dan anak-anak jalanan di Jakarta. Di Indonesia mungkin ada puluhan atau ratusan ribu banyaknya. Mereka punya hati. Mereka punya impian dan kerinduan. Mereka tentu juga punya harapan dan masa depan. Hanya saja mereka tidak (belum) punya kesempatan.--Michael Sendow—
#anakjalananindonesia
Twitter: @michusa2000
“Teaching kids how to feed themselves and how to live in a community responsibly is the center of education” --- Alice Waters.
Foto-foto (koleksi pribadi):
[caption id="attachment_332642" align="aligncenter" width="529" caption="Inilah salah satu karya kelas enterpreneur yang siap dijual"]
[/caption]