Lihat ke Halaman Asli

Michael Sendow

TERVERIFIKASI

Writter

Legitimasi Pilpres 2014, Gugatan ke MK dan Membuktikan Kecurangan

Diperbarui: 18 Juni 2015   05:12

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

PILPRES adalah tonggak penting pelaksanaan demokrasi langsung, yang melibatkan setiap warga negara secara aktif, dalam rangka menentukan kepemimpinan nasional setiap lima tahun. PILPRES 2014 telah pula menyiratkan harapan sangat besar bahwa partisipasi setiap warga negara memang sangatlah luar biasa besar. Itu terlihat mulai dari masa kampanye, pada hari pencoblosan, pun ketika mengawal penghitungan suara detik demi detik. Bahwkan ada relawan netral yang merelakan diri mengawal pemilu ini, bahkan lahir juga www.kawalpemilu.org sebagai wujud nyata tindakan partisipatif tersebut.

Belum pernah ada dalam sejarah PILPRES Indonesia yang tingkat partisipatif warga pemilih begitu luar biasanya sebagaimana antusias PILPRES kali ini. Bahkan yang tidak memilih pun, yang masih di bawah umur, serempak dipenuhi eforia PILPRES 2014 ini. Nama Jokowi dan Prabowo memang bagaikan magnet kuat yang menyedot perhatian, dukungan, serta antusiasme warga bangsa ini. Menjadikan terciptanya banyak pendukung militan. Kecil besar, tua muda, laki-laki perempuan, dengan semangat gotong royong bahu membahu dan dukung mendukung dalam rangka memenangkan calon yang mereka dukung.

TIMSES dua belah pihak juga berjuang mati-matian dengan caranya masing-masing demi memenangkan calon yang mereka jagokan. Alhasil, ada saja cara-cara yang dipakai ternyata sudah melewati batas kewajaran berkampanye. Dan menurut political wave, Jokowi adalah yang paling banyak diserang kampanye hitam tersebut. Sesuaru yang sesungguhnya amat luar biasa memalukan dilakukan oleh orang-orang yang katanya beradab, berhati nurani, dan berpendidikan itu. Siapapun pelaku kampanye hitam itu, mereka tidak pantas dianggap relawan sejati karena sejatinya mereka hanyalah merusak tatanan kesantunan berkampanye yang ada. Terkecuali mereka memang tinggal di hutan ya silakan saja berkampanye hitam, ‘orang hutan’ kan taunya hanya hukum rimba, menghalalkan segala cara demi menerkam mangsanya.

Nah, penyelenggaraan PILPRES tidak boleh terlepas dari asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. Kenapa harus ada semua asas itu? Tentu saja untuk supaya dapat memberikan hasil pemilihan yang maksimal, yang dengan sendirinya menghasilkan kepemimpinan nasional yang memiliki legitimasi yang kuat. Ini juga prosesnya harus berlangsung secara demokratis serta berkualitas sehingga akuntabilitas dan integritas PILPRES beserta seluruh proses yang menyertainya, termasuk rekapitulasi suara dapat diterima masyarakat luas, terlepas suka atau tidak suka dengan hasil tersebut. Dalam sebuah pertandingan harus ada yang menang dan kalah.

Menolak PIPRES, Menarik Diri, dan Legitimasi PILPRES 2014

PILPRES 2014 sudah selesai. Setidaknya sudah selesai sampai di tingkat keputusan KPU. Meskipun toh pada akhirnya ternyata ada pihak yang tidak menganggap PILPRES ini sah. Ya, kubu Prabowo beranggapan bahwa PILPRES kali ini cacat hukum. Menurut KPU Prabowo mendapatkan dukungan suara sebesar 46,85% atau 62.576.444 suara. Jokowi mendapatkan 53.15% atau 70.997.833 suara. Saya ingin memberikan pendapat saya mengenai persengketaan PILPRES ini.

Melihat dan mendengar pidato ‘mencengangkan’ Prabowo dari Rumah Polonia sesaat sebelum penghitungan suara oleh KPU berakhir, maka terbesit pemikiran ‘konyol’ dalam benak saya. Begini, ketika mendengar Prabowo mengatakan bahwa ia dan kubunya (belum tentu semua) MENOLAK PILPRES ini, karena katanya terdapat banyak indikasi kecurangan, dan oleh karenanya menurut Prabowo Pilpres ini CACAT HUKUM. Ini menurut saya aneh. Prabowo ada di dalamnya (PILPRES) tapi kenapa kemudian menolaknya? Apapun argumentasinya, maka seharusnya empat orang yang ada di dalam PILPRES itu, yakni JOKOWI-JK dan PRABOWO-HATTA tidak bisa menolak PILPRES sebelum ‘pertandingan’ usai.

Mungkin di luar mereka berempat boleh-boleh saja berkata atau berkomentar menolak PILPRES. Hanyalah mereka yang di luar panggung ‘pertarungan’ itu yang masih wajar bila berseru-seru menolak PILPRES. Contohnya ada dua orang petinju yang masuk di ring tinju, lantas pada ronde-ronde terakhir tiba-tiba seorang petinju MENOLAK pertandingan tinju tersebut, padahal dia ada di dalamnya. Ini aneh dan lucu saja. Dan selama belum ada keputusan hukum apapun maka pantang menyebutkan sesuatu itu CACAT HUKUM. Dimana letak kecacatannya? Berdasarkan putusan apa lantas ia dinyatakan cacat? Berdasarkan pidato? Berdasarkan sekedar ‘dugaan’? Berlandaskan kecurigaan semata? Atau apa?

Kemudian lontaran kata-kata MENARIK DIRI itu mesti jelas dari apa dan untuk apa? Sebab kalau artinya sama dengan mengundurkan diri maka secara spesifik itu artinya sudah ‘out of the game’, dan dengan demikian hak untuk maju ke MK gugur sudah. Sudah mundur ngapain maju? Sederhananya seperti itu bukan? Akan tetapi dari kubu Prabowo tiba-tiba meralat bahwa Prabowo sekedar menarik diri dan TIDAK MENGUNDURKAN DIRI. Masalahnya beliau menarik diri dari apa? Paling cocok, seperti kata banyak pengamat bahwa ia kemungkinan menarik diri dari Proses Rekapitulasi Suara KPU (yang sementara berlangsung saat itu). Pertanyaan saya, kenapa menarik dirinya baru setelah tinggal tersisa 2 provinsi lagi dan tidak dari start awal proses rekapitulasi sudah menarik diri? Apakah karena hasilnya sudah terlalu terang benderang dengan perbedaan 5-6% baru siap-siap mundur? Entahlah, only Prabowo knows the reason why.

Akhirnya hari ini kubu Prabowo sudah membawa kasus ini ke MK. Semoga saja memang dengan dibawanya kasus ini ke MK adalah cerminan dewasanya bangsa ini berpolitik dan berdemokrasi, bukan semata dan sekedar karena mengejar kekuasaan, apalagi demi harta dan jabatan. Semoga benar-benar ada ketulusan hati dalam berdemokrasi seperti yang selalu terucap manis di bibir, “Siap menang dan siap kalah”. Semoga alasan apapun dibalik gugatan hasil PILPRES ke MK ini adalah demi rakyat. For the sake of democracy only.

Lalu apakah pidato Prabowo, dan jalan yang ditempuh kubunya membawa kasus ini ke MK mengurangi ‘kadar’ legitimate PILPRES kali ini pun juga dengan keputusan KPU? Saya rasa tidak sama sekali. Dalam tahapan proses demokrasi ya memang sudah seperti itu. KPU sudah berhasil memutuskan hasilnya dengan sebaik yang mereka bisa. Ketika ada kubu yang kurang puas maka mekanisme hukumnya adalah banding ke MK. Itu proses biasa saja dan tidak mendelegetimasi apapun KECUALI hasil keputusan MK berbanding terbalik dengan hasil keputusan yang sudah ditetapkan KPU. Karena itu berarti ada yang salah dalam PILPRES ini sehingga hasilnya KPU tidak berbanding lurus dengan hasil di MK. Sederhananya, berarti dugaan kecurangan itu terbukti.

Membuktikan Kecurangan PILPRES ke MK

Sekarang muncul pertanyaan, bagaimana membuktikan kecurangan yang katanya massive dan terstruktur itu benar-benar terjadi? Apakah perbedaan selisih suara 8.421.439 itu dapat dipatahkan? Dengan katakanlah setengahnya (4 jutaan suara) harus benar-benar dapat dibuktikan dengan data valid dan otentik bahwa suara tersebut harusnya menjadi milik pasangan nomor satu. Padahal kita tahu bersama C1 itu dihitung dan dikawal ketat secara berjenjang, meniscayakan kecurangan massive untuk tidak terjadi. Tentulah kita tidak boleh menisbikan kecurangan-kecurangan “kecil-kecilan” yang sudah terjadi. Itu pasti ada, dan buktinya juga sudah terdata dengan jelas. Akan tetapi secara massive dan terstruktur yang melibatkan para anggota KPPS, KPUD, KPU dengan jumlah suara ratusan ribu ataupun jutaan? Itu yang harus dapat dibuktikan. Kita tunggu saja kalau memang hal tersebut dapat dibuktikan di MK nantinya. Hasilnya kurang lebih baru akan dapat kita ketahui sekitar 2 minggu dari sekarang.

“Pertarungan” di MK pun rasa-rasanya tidak hanya akan one way action oleh satu kubu. Tentu dugaan kecurangan tidak hanya akan dibeberkan oleh pasangan nomor 1 saja. Pasangan nomor 2 pun pasti akan membuka semua data-data mereka tentang kecurangan yang menunjukkan sebaliknya. Ini bakalan “bikin rame” MK. Tentu saja. Hitung-hitungannya sederhana. Tarulah katakan di beberapa TPS ada kecurangan sekian suara yang mestinya diperoleh pihak nomor satu tapi nyatanya masuk ke nomor 2. Namun di beberapa TPS lain justru sebaliknya, kubu nomor 2 mampu membuktikan bahwa mereka kecolongan suara karena berhasil ‘dirampok’ suaranya sekian banyak. Apakah MK kemudian akan menggunakan “kalkulator selisih suara”?

Belum lagi mengenai penyalahgunaan KTP, KTP bodong dan sebagainya. Ini susah untuk dibuktikan kecurangan itu ada di pihak siapa dan siapa yang mencurangi. Sebab menurut Mahfud Md sendiri, selama pengalaman dia menjadi hakim di MK, sangat sulit untuk membuktikan hal tersebut. Sebab bisa jadi pengguna KTP tersebut mencoblos Jokowi tapi bisa juga justru ia mencoblos Prabowo. Jadi urusannya ribet kalau mempermasalahkan hal-hal teknis seperti itu.

Jadi menurut saya, hasil MK akan tetap sama dengan hasil KPU. KECUALI, sekali lagi kecuali memang pihak nomor 1 dapat membuktikan adanya kegiatan secara massive, terstruktur, dan hilangnya jutaan suara itu memang terbukti merugikan pihak nomor 1. Sebab, ingat benar, MK TIDAK AKAN mengetuk palu persidangan hanya bedasarkan dugaan, atau berdasarkan “surat kehilangan” dari kepolisian. MK memutuskan segala seuatu berdasarkan bukti nyata di lapangan. Dan bukti-bukti itu harus mampu dihadirkan ke meja persidangan. Saksi-saksinya juga pasti akan ditanyai. MK tidak bakalan mengelurkan keputusan yang main-main. MK juga pasti akan ‘dimata-matai’ oleh KPK. Jangan sekali-kali ada yang menyogok hakim-hakim MK yang terhormat itu dengan iming-iming miliaran rupiah per orang. Hati-hati.

Dalam UU nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Pasal 243 disebutkan, bahwa setiap orang yang dengan sengaja merusak atau menghilangkan hasil pemungutan suara yang sudah disegel, dipidana penjara minimal 12 bulan, maksimal 36 bulan dan denda maksimal 36 juta. Dan lagi, dalam pasal 244 juga telah disebutkan secara jelas, bahwa penyelenggara pemilu dan peserta pemilu yang berbuat curang menyebabkan rusak dan hilangnya berita acara pemungutan dan penghitungan suara dan atau sertifikat hasil perhitungan suara yang disegel, diancam pidana minimal 12 bulan, maksimal 60 bulan dengan denda minimal 500 juta dan maksimal 1 miliar. Jadi kalau terbukti curang, penjarakan dan dendai mereka secara maksimal!

Apapun itu, saya tetap percaya tokoh-tokoh politik yang bersitegang itu bukanlah anak-anak kecil yang akan merengek-rengek bila kehilangan mainan. Mereka adalah tokoh-tokoh besar yang memiliki sifat kenegarawanan. Mereka adalah negarawan atau bakal calon negarawan. Maka jangan biarkan demokrasi diperalat hanya untuk kepentingan diri dan kelompok semata. Betapa malunya negeri ini bila kelak harus ‘hancur lebur’ oleh sebab keegoisan sekelompok orang saja. Karena, yang akan menjadi korban ya kita kita juga. Rakyat jelata ini.

Semoga saja, setelah MK memutuskan hasilnya, kita tidak lagi berkelahi sana sini. Menghujat sana sini. Menebar fitnah sana sini. Tak usah lagi ngotot dan melotot. Tak perlu lagi galak dan membentak. Tak usah egois dan melankolis. Jangan membela diri lalu mencela diri orang lain. Tak usah juga mengancung-ancungkan kepalan tangan, serta mengepal-ngepalkan tinju seakan ingin menonjok seseorang. Kita terima hasilnya dengan lapang dada dan kembali saja ke Persatuan Indonesia. Bhinneka Tunggal Ika. ---Michael Sendow---




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline