Tiga hari berturut-turut kantor saya tutup. Mulai hari Senin, saya sudah punya perasaan yang tidak enak. Iya, tidak enak oleh karena dari atas sana hujan tiada henti-hentinya dan semakin deras menyapa bumi. Saya khawatir ini bakalan banjir. Tak perlu disangsikan lagi, betapa dahsyatnya pukulan itu akhirnya datang di seputaran Danau Sunter. Kebetulan letak kantor saya ada di jajaran jalan Danau Sunter Selatan, tepat bersisian dengan Danau Sunter. Dan, Danau Sunter pun meluap. Banjir. Maka di sepanjang jalan Bulevard di depan MOI dan MKG (dua mall besar di JakartaTimur) itu pun ikut-ikutan tergenang air lumayan tinggi. Banjir.
Di saat yang sama, banjir berita KPK vs POLRI terus-terusan membebani layar TV saya yang tak begitu besar. Entah kenapa, saya lama kelamaan menjadi (maaf kata) muak dengan pemberitaan-pemberitaan tersebut. Rasa muak itu apakah kepada ke dua institusi tersebut? Atau kepada stasiun-stasiun TV yang memblowup berita tersebut secara lebay? Entahlah.
Apalagi, berita yang semakin memanas itu dibumbui dengan spekulasi kiri-kanan. Memang sih, bisa jadi ada begitu banyak politikus spekulan di negeri ini. Politikus yang gemar berspekulasi, mengira-ngira, dan pengagum teori konspirasi. Meskipun, bisa jadi spekulasi maupun perkiraan-perkiraan yang muncul suatu ketika akan ada benarnya juga. Namun alangkah lebih eloknya bisa semua pihak bisa menahan diri. Tidak membakar emosi di tengah suasana yang penuh api membara. Di luar memang basah oleh air hujan dan banjir, namun di dalam gedung pengadilan itu penuh ‘api kebencian’. Keangkuhan dan kearoganan masing-masing lembaga yang bertikai.
Menurut kabar, KPK pun sempat mendapat teror surat kaleng……
Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Setya Novanto bahkan (katanya) menduga ada pihak ketiga di balik aksi teror yang dialami para penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan keluarganya itu. Pihak ketiga tersebut memanfaatkan polemik yang terjadi antara KPK dan Polri tentu saja dengan berbagai maksud tujuan tertentu. Siapa pihak ketiga itu? Entahlah. Bisa jadi para koruptor kelas kakap di balik layar?
Tempo hari saya pernah mendapat kiriman mawar putih (white rose) sebagai hadiah dari kerabat dekat saya. Mawar yang langka itu bernama keren Rosa Spinossima. Menurut beberapa catatan, originalitas bunga ini adalah dari Skotlandia. Nah, ketika menerima bunga tersebut kala itu, saya tiba-tiba justru jadi teringat tulisan kawan saya Sonny Mumbunan yang pernah menulis cuplikan tentang sekelompok mahasiswa di Jerman. Yaitu sebuah cerita di awal tahun 1940-an. Singkat cerita, orang-orang muda itu dengan begitu pedulinya berjuang demi keadilan dan kebenaran. Didorong rasa kemanusiaan yang amat kuat mereka melawan fasisme Hitler dan Partai Nazi. Berjuang di bawah tanah, kelompok itu menamakan dirinya "Weisse Rose" alias mawar putih.
Sonny menulis, “….Ada gadis luar biasa di situ. Seorang mahasiswi kedokteran yang manis. Sophie Scholl namanya. Semua anggota kelompok ini akhirnya ditangkap. Sebagian besar dipancung kepalanya….”
“Kita akan berjumpa dalam keabadian” kata Sophie pada ibunya, sebelum kepalanya menggelinding di meja pancung.
Cerita di atas menggambarkan alangkah tragisnya nasib anak-anak muda yang berjuang demi sesuatu yang mulia. Mereka bersatupadu melawan kediktatoran dan para pejabat-pejabat korup. Meskipun nasib kepala mereka mesti berada di atas meja pancung.
KPK dan POLRI sebagai dua lembaga “besar” yang dimiliki negeri ini, yang punya komitmen bersama untuk membersihkan negeri ini dari korupsi dan terus menjunjung nilai-nilai keadilan serta kemanusian, tentu sangat diharapkan unutk terus menjadi lembaga-lembaga yang kredibel dan jauh dari nilai-nilai arogansi serta sikap mementingkan diri sendiri.
Personel dan kelembagaan mestilah selalu dibedakan. Oknum pejabat POLRI boleh saja ditangkap, jadi tersangka, dan masuk penjara. Begitu juga sebaliknya, oknum pegawai atau komisioner KPK sekalipun, bisa saja ditangkap, jadi tersangka, dan masuk penjara. Lantas apakah dua lembaga ini akan tutup? Tentu tidak. Lembaga adalah lembaga. Ia akan terus ada meskipun pimpinannya terus berganti. Kekuatannya ada di kelembagaanya bukan kepada sosok.
Warisan Masa Lalu
Bangsa kita memang punya sejarah masa lalu pahit di bawah kepemimpinan pemimpin-pemimpin ORBA. Tangan-tangan diktator seakan telah memengaruhi jiwa kita begitu jauh. Membentuk kita laksana besi yang ditempa oleh si tukang besi, terbentuk tanpa disadari. Bahkan, dibawah kediktatoran yang berlangsung lama maka jelas terlihat betapa kaum terdidik juga akhirnya terbentuk dan tumbuh dengan nilai-nilai demokrasi yang absurd dan korup. Berkata tentang demokrasi namun sikap menunjukkan sebaliknya. Berteriak lantang tentang keadilan, namun tindak tanduk tidak mencerminkan apa yang diteriakkan. Beretorika tentang sikap negarawan, namun prilaku yang ditampilkan justru sebaliknya. Itulah warisan pola pikir dan pola tindak, serta tutur kata yang tidak pernah sinkron.
Itulah sebabnya juga, tanpa dengan maksud untuk berapriori, namun setidaknya kini kita dapat melihat produk-produk keluaran orde tersebut. Rupa-rupanya tidak sedikit kaum terdidik Indonesia punya “iman demokrasi” yang tipis. Setipis kertas yang mudah rusak dan robek. Ini adalah salah satu warisan orde baru yang tak kalah penting untuk dicermati. Warisan yang berpotensi menjadi mata air bagi primordialisme dan fasisme di Indonesia. Serempak dapat pula menjadi mata air yang berpotensi kuat membentuk kangkuhan dan kearoganan seorang pejabat publik / pejabat negara. Kekuasaan baginya adalah segala-galanya. Sehingga, at the end, segala carapun bakalan dihalalkan dengan tanpa rasa malu dan apalagi takut demi mempertahankan kekuasaannya itu. Bagi mereka, tidak pernah ada kata mundur atau mengundurkan diri meskipun statusnya sudah tersangka.
Untuk Indonesia yang dihuni oleh banyak pelupa ini, maka isi pesan yang hendak disampaikan tersebut janganlah dianggap main-main: Kekuasaan itu tidak pernah mutlak. Hukum itulah yang mutlak. Jangan kemudian kita memutlakkan apa yang nisbi, lantas menisbikan apa yang seharusnya mutlak. Hal kedua adalah, bahwa Persatuan Indonesia itu ringkih dan rapuh. Ia mestilah dirawat dengan sebaik-baiknya. Sebaik Anda merawat biji mata Anda. Kasus KPK dan POLRI ini saja sudah membentuk dua front yang sangat keras, dan adu kuat. Yang satu di sisi KPK, yang lain siap sedia di belakang POLRI. Apa yang akan terjadi di negeri ini kalau sudah seperti itu terus menerus? Padahal belum hengkang dari ingatan kita dua kubu yang bertarung mati-matian pada saat PILPRES yang lalu. Segala cara dihalalkan demi mencapai tujuan.
Mungkin lambat laun kita tak akan punya lagi rasa simpati terhadap politik dan politik kekuasaan di negeri ini yang sudah begitu ‘menjijikkan’. Tapi di sisi lain, kita tak bisa mengelakkan keniscayaan akan hadirnya sosok-sosok pembaharu itu. Jaman silih berganti, dan silih berganti pula pemimpinan-pemimpin hebat yang muncul di negeri ini. Siapapun nama yang sekiranya muncul di benak Anda masing-masing, kita tentu tetap masih punya sosok-sosok hebat tersebut. Koridor yang mereka pakai untuk berjuang bisa saja sebagai pejabat publik, pengurus partai, pejabat negara, dan sebagainya. Atau mungkin ada juga yang sementara berpikir untuk menjadi ronin di luar dinding negara?
***
Akhir kata, sementara Gubernur Jakarta sibuk mengurusi banjir di Jakarta, dan sementara mata kita dibanjiri berita tentang KPK-POLRI, sementara itu jugalah kita mesti rajin berdoa. Marilah kita terus berharap serta berdoa supaya badai yang menerpa KPK-POLRI cepat usai. Dan banjir yang melanda Jakarta cepat berlalu. Banjirilah hari-hari Anda dengan berdoa dan bekerja. Bekerja demi kebaikan banyak orang tentunya. Cheers! ---Michael Sendow---
#KPKPOLRI
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H