Lihat ke Halaman Asli

Motivasi yang Tersembunyi...

Diperbarui: 26 Juni 2015   06:22

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1303827726114828233

[caption id="attachment_104346" align="alignright" width="300" caption="Adakah yang tersembunyi?"][/caption] Inman rindu menggebu pada Ada, kekasihnya di kampung halaman di desa Cold Mountain. Di desa itu tak pelak lagi Ada merupakan gadis paling anggun. Kalau Ada lewat, orang berbisik, “Lihat, itu anak Sir Monroe. Cantiknya..!”

Dalam kerinduannya Inman sering mengigau. “Cold Mountain! Cold Mountain!” Akhirnya, ia nekat untuk minggat. Ia berjalan berbulan-bulan sepanjang 600 kilometer dari Norfolk di Virginia ke Cold Mountain di North Carolina. Perjalanan pulang itu menjadi inti novel karya Charles Frazier berjudul Cold Mountain.

Benarkah Inman rela menempuh perjalanan itu hanya karena rindu pada kekasihnya? Tidak. Inman dengan jujur mengakui motivasi lain, yaitu muak pada perang yang terus berkecamuk. Ia muak terhadap peperangan.

Kisah ini terjadi pada tahun 1864. Inman ikut dalam Perang Saudara dalam Federasi Amerika Serikat. Inman merasa gila berada di medan perang. Ia Cuma punya dua pilihan: membunuh atau dibunuh. Teman-temannya bergelimpangan jadi mayat. Bau mesiu bercampur dengan bau mayat. Hati nurani Inman berbisik: Perang ini sia-sia.

Pada suatu pertempuran Inman terluka parah. Berminggu-minggu ia dirawat. Rasa rindunya pada Ada semakin menggebu. Siang malam wajah Ada terbayang. Ia bermimpi keduanya berpelukan bagaikan mempelai. Inman menjadi bingung. Apakah ia terus bertugas untuk bertempur ataukah minggat sebagai deserter? Tetap berdinas ataukah desersi? Pada suatu malam, ia membuat keputusan. Ia menyelinap keluar dan melarikan diri.

Maka mulailah perjalannya. Dengan luka-luka yang belum pulih, ia naik dan turun pegunungan Appalachian dan Allegheny diterpa angin, hujan dan salju. Ia menyambung hidup dengan makan pucuk daun dan serangga. Setiap kali melewati desa, maut mengintai sebab tiap deserter akan ditembak mati oleh polisi desa.

Perjalanan pulang sama bahayanya dengan tugas di medan perang. Derita yang ditanggung Inman sama berat, bahkan lebih berat. Apakah kembali ke medan perang dan mati konyol di sana atau meneruskan perjalanan dan mati konyol di sini?

Pernah Inman dijebak oleh penduduk sebuah desa. Dengan tangan dan kaki diborgol, ia terkapar sekarat di tepi hutan. Nyawanya bersambung berkat pertolongan seorang peternak. Sementara itu Ada juga menderita. Ayahnya meninggal. Ada hidup sebatang kara tanpa kemampuan bercocok tanam. Untuk makan ia tergantung pada pengasihan orang. Lalu ia mulai digoda oleh Teague, seorang pemeras yang menjadi polisi desa. Ada diteror dan diancam kiri-kanan.

Pada suatu hari Ada pergi ke hutan untuk menolong seorang teman yang dianiaya oleh Teague. Dalam kegelapan Ada melihat seorang pria mendekat dengan terhuyung-huyung. Ada membidik senapannya dan menembak. Tetapi orang itu berteriak, “Ada!..Ada!, saya Inman!” Sepasang kekasih yang sekian bulan tersiksa oleh rasa rindu malam itu menyatu. Semua membeku kena badai salju, namun Inman dan Ada membara karena cinta.

Tema novel ini adalah perkembangan motivasi. Motivasi Inman yang pertama adalah pelarian diri. Ia melarikan diri dari tugas. Motivasinya yang kedua adalah rindu pada kekasihnya.

Sepanjang perjalanan kedua motivasi ini disaring. Berbagai pengalamannya dalam perjalanan membuat Inman bertumbuh. Motivasi muak pada kejahatan perang tersaring dengan perbuatannya menolong seorang budak yang dihamili dan nyaris dibunuh. Motivasi rindu kasmaran tersaring ketika Inman bertindak mulia di ranjang seorang wanita yang hatinya hancur. Perjalanan ini merupakan proses pendewasaan cintanya kepada Ada. Faktor penentu proses ini adalah kejujuran Inman pada dirinya bahwa ia mempunyai dua motivasi, yaitu yang terucap dan yang tersembunyi.

Motivasi terucap sering berbeda dari motivasi tersembunyi. Dengan mudah kita mengaku bermotivasi mengasihi. Padahal sebenarnya ada motivasi tersembunyi berupa kepentingan diri.

Motivasi ingin meninggal dunia pun sering disembunyikan dalam cinta kepada Allah. Kita menyebut pulang ke rumah Allah. Benarkah pulang karena cinta pada Allah atau karena pelarian diri? Berpikir “daripada hidup jengkel, susah, menderita, lebih baik mati saja” sebenarnya juga adalah desersi alias melarikan diri dari tugas.

Tetapi perjalanan hidup bisa menjadi proses penyaringan motivasi. Sayangnya, bahwa kehangatan Inman dan Ada hanya berlangsung satu malam saja. Persembunyian mereka tercium oleh Teague. Terjadi baku tembak. Teague mati. Namun, Inman pun tertembak. Ia terkapar di salju dipeluki dan diratapi Ada. Sebelum menghembuskan napas terakhir, Inman menatap Ada dan berkata lirih, “I’ve come back!”

Perjalan pulang Inman berhasil. Ia menepati janji untuk setia dan pulang. Ia bukan mati konyol di medan perang atau mati konyol di perjalanan pulang. Ia mati terhormat demi melindungi kekasihnya dari terror. Impian Inman terwujud. Ia pulang kembali ke kekasihnya dan ke “mempelai”nya.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline