Lihat ke Halaman Asli

Perlunya Dialog Antara Admin dan Kompasianer

Diperbarui: 26 Juni 2015   05:40

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Perlunya Dialog Antara Admin dan Kompasianer.

---------------Berdialoglah secara sehat....

Saya senang melihat ada interaksi ---walaupun sedikit--- antara Admin dan Kompasianer, atau lebih tepat bahwa Admin akhirnya mau buka suara menjawab “keluh kesah” beberapa Kompasianer sehubungan dengan beberapa hal yang terjadi dalam rumah sehat yang di nakhodai oleh Admin. Terakhir saya melihat Admin menjawab beberapa pertanyaan yang meruncing di lapaknya Om Herman Hasyim. Maka saya berpikir bahwa perlulah ada dialog antara Admin dan Kompasianer. Antara sopir dan penumpang. Bukankah sopir yang mabuk dan ugal-ugalan dapat membuat mobil masuk jurang? Sebaliknya penumpang yang tidak tahu diri bisa mengganggu konsentrasi sopir dan kenyamanan penumpang lainnya!

Kata dialog sering dipakai secara rancu. Dikatakan bahwa para ibu berdialog sambil menunggu bubarnya taman kanak-kanak, padahal itu bukan dialog melainkan ngobrol atau berbincang-bincang. Dikatakan bahwa para anggota direksi berdialog mengenai rencana kerja, padahal sebetulnya itu berunding atau rapat. Dikatakan bahwa setelah ceramah ada dialog, padahal itu sebetulnya Tanya-jawab. Dikatakan bahwa peserta seminar akan dibagi dalam kelompok untuk berdialog, padahal yang dimaksud adalah berdiskusi. Dikatakan bahwa antara pusat dan daerah sering terjadi dialog, padahal yang dimaksud adalah komunikasi. Dikatakan bahwa dialog sandiwara itu kurang jelas, padahal yang dimaksud adalah percakapan atau konversasi (conversation).

Hakikat dan prasyarat dialog jauh lebih rumit dari sekedar bercakap-cakap, bernegosiasi, bertukar pikiran, berdiskusi atau berkomunikasi. Dialog terjadi di mana ada dua (atau lebih) macam kebenaran/pendapat berhadapan satu sama lain. Dialog adalah sarana di mana dua (atau lebih) pribadi, pihak, kepentingan, kebutuhan dan keyakinan saling berbeda bertemu untuk kemudian saling memahami dan saling menjembatani perbedaan itu.

Dialog seperti itu diperlukan oleh suami dan istri, anak dan orangtua, guru dan murid, buruh dan majikan, rakyat dan pemerintah, golongan yang satu dengan golongan yang lain, dua pihak yang bertikai. Dialog yang seperti ini jugalah yang harusnya terjadi dan terjalin antara Para Admin dengan Para Kompasianer. Dialog tentunya tidak akan terjadi kalau kita berbicara kepada tembok atau kepada rumput yang bergoyang. Kesediaan untuk berdialog adalah merupakan langkah awal untuk lebih maju dan terbuka di antara semua penghuni rumah sehat atau mobil sehat bernama Kompasiana ini.

Tetapi tidak dapat dipungkiri di sini, di rumah ini, yang sering terjadi adalah bukannya dialog, melainkan hanyalah pembicaraan dangkal yang tidak menyentuh akar persoalan. Akibatnya hubungan itu hanya dari luar tampak utuh, namun dalamnya retak dan putus. Kelihatan bagus dari luar tetapi di dalamnya porak-poranda, pincang dan tidak jarang nampak perpecahan yang tersembunyi rapat-rapat.

Berdialog memang susah. Ada banyak kendalanya. Pemikiran filosofis tentang dialog seperti itu dikembangkan sejak tahun 1960-an oleh beberapa pakar teori pendidikan seperti Reuel Howe dan Paulo Freire. Howe menulis bahwa kendala yang terdalam adalah kendala yang bersifat ontologis (dari asal muasal) berupa kecemasan yang tersembunyi dalam jiwa setiap orang, yaitu kecemasan terhadap ancaman-ancaman yang disadari maupun yang tidak disadari. Sebagai makhluk yang terbatas oleh waktu, orang merasa terancam sehingga cenderung bersikap membenarkan diri dan mempersalahkan orang lain. Gejala ini muncul dalam bentuk iri, dengki, benci dan hasrat untuk menekan pihak lain. Semua itu menjadi penghalang dialog.

Berdialog menuntut sebuah hati yang mau dimasuki dan mau memasuki pihak lain. Untuk berdialog diperlukan hati yang terbuka untuk mendengarkan isi hati pihak lain dan memperdengarkan isi hati sendiri lalu seandainya ada perbedaan tajam, dicarilah jalan tengah. Untuk bisa berdialog diperlukan hati yang tulus.

Dialog seperti ini memang susah namun perlu. Tiap hubungan memerlukan dialog ibarat lalu lintas memerlukan jalan. Tanpa dialog hidup akan macet di sana-sini. Oleh sebab itu saya mengajak Admin dan Kompasianer bukan Cuma sekedar nulis numpang lewat tapi juga ada dialog. Bukankah dialog juga membuat kita lebih intim dan lebih erat?

Dialog menuntut pengorbanan perasaan. Namun hasilnya menakjubkan. Hubungan menantu dan mertua yang sudah renggang bisa akrab lagi. Hubungan Negara yang satu dengan Negara yang lain yang sudah beku bisa cair lagi. Hubungan kerabat yang sudah rusak bisa pulih kembali. Howe dalam buku The Miracle of Dialog menulis: “Inilah keajaiban dialog---sanggup menciptakan hubungan yang belum ada dan sanggup menghidupkan kembali hubungan yang telah padam.”

Admin memang perlu istirahat, tidur, jalan-jalan dan rehat sejenak tapi ketika kembali ke “meja dashboard” sudah sepatutnyalah berdialog juga dengan para Kompasianer yang berbagai jenis, berbagai karakter, berbagai kepentingan dan berbagai wujud itu. Lihat dan rasakanlah keajaiban dari dialog! (MA)




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline