Lihat ke Halaman Asli

Tren Toxic Productivity di Kalangan Mahasiswa

Diperbarui: 15 Desember 2021   13:08

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ruang Kelas. Sumber Ilustrasi: PAXELS

Sebagai seorang mahasiswa, menjadi produktif merupakan suatu hal yang baik agar dapat bertahan dalam dunia perkuliahan. Mungkin kita sering mendengar perkataan orang yang mengatakan bahwa saat menjadi mahasiswa waktu istirahat dan bermain kita akan berkurang karena banyaknya tugas. Selain tugas, banyak kegiatan lain seperti kegiatan organisasi atau kepanitiaan yang bertujuan untuk mengembangkan softskill mahasiswa. Kurangnya waktu istirahat dan semakin padatnya jadwal dapat berdampak pada kesehatan mahasiswa.

Kemajuan teknologi dan informasi yang pesat juga berpengaruh pada hal ini. Di masa dewasa ini, seseorang dapat dengan mudah mengakses sosial media untuk mendapatkan informasi, menghibur diri, atau melihat kegiatan yang dilakukan orang lain. Banyaknya hal yang bisa dilihat di media sosial terkadang membuat insecure. 

Abraham Maslow berpendapat bahwa insecure adalah suatu keadaan dimana seseorang yang merasa tidak aman, menganggap dunia sebagai sebuah hutan yang mengancam dan kebanyakan manusia berbahaya dan egois. Perasaan insecure ini dapat muncul saat seseorang melihat orang lain yang mungkin lebih pintar, lebih tekun dan akhirnya dirinya tidak merasa bersyukur atas apa yang dimiliki dan apa yang telah dicapainya.

Seorang psikolog klinis bernama Melanie Greenberg, Ph.D. mengatakan bahwa ada 3 penyebab umum seseorang merasa insecure, yaitu, insecure dapat terjadi saat seseorang mengalami kegagalan atau penolakan yang akhirnya menyebabkan penurunan self-esteem pada dirinya sendiri. 

Penolakan dan kegagalan seperti mendapat nilai yang lebih jelek daripada teman sekelas padahal sudah belajar dengan sangat keras atau gagal lulus ujian masuk perguruan tinggi disaat teman-teman yang lain berhasil lulus.

Insecure juga dapat terjadi karena mendapat kritik dari lingkungan sekitarnya. Contohnya, ketika seseorang mengupload konten bernyanyi atau make-up ke media sosial dengan percaya diri karena menurutnya hal tersebut bagus. Namun, karena tidak ada kesiapan, ia merasa cemas karena mungkin beberapa orang mengkritik suaranya atau gaya make-up. Hal ini menimbulkan kecemasan sosial yang akhirnya membuat seseorang menarik diri dari lingkungan sosial.

Seseorang yang memiliki sifat perfeksionis juga dapat memunculkan rasa insecure pada dirinya sendiri. Merasa semua harus berjalan sesuai rencana atau tidak ingin ada kegagalan dapat membuat seseorang menjadi tidak siap saat semuanya tidak sesuai ekspektasi. Mereka mungkin tidak mempersiapkan diri saat terjadi hal buruk atau kegagalan pada rencana atau ekspektasi yang terlalu tinggi.

Insecure juga dapat muncul saat kita membandingkan diri dengan orang lain. Berbagai konten media sosial membuat kita dapat mengenal berbagai jenis individu dengan status berbeda seperti pendidikan, status sosial, dan lain-lain. Secara tidak sadar, kita akan membandingkan diri dengan orang tersebut. Apakah kita lebih atau kurang dari orang tersebut. 

Dalam psikologi, perilaku ini dijelaskan dalam Teori Perbandingan Sosial (Social Comparison Theory) yang dikemukakan pertama kali oleh Leon Festinger.

Membandingkan diri dengan orang lain dapat memiliki dampak positif karena individu dapat melihat dan mengevaluasi kekurangan yang dimiliki agar dapat menjadi lebih baik lagi kedepannya. 

Namun, jika individu membandingkan diri terus-menerus, yang akhirnya memunculkan perasaan insecure dan selalu merasa kurang serta menjadi kurang bersyukur, ia mungkin akan mendorong dirinya untuk bekerja keras agar dapat menjadi lebih dari individu lain.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline