Lihat ke Halaman Asli

Meningkatnya Disinformasi dan Misinformasi: Ancaman Bagi Kebenaran dan Demokrasi

Diperbarui: 2 Desember 2024   10:03

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gambar ini diambil dari situs Scientific American 

Era Informasi dan Tantangan Baru

Di dunia yang saling terhubung saat ini, informasi mengalir lebih bebas dan cepat dibandingkan masa mana pun dalam sejarah. Dengan satu klik, siapa saja dapat mengakses berita global, saran kesehatan, atau tren sosial terbaru. Internet telah mendemokratisasi pengetahuan, menjadikannya tersedia bagi jutaan orang di tingkat yang belum pernah terjadi sebelumnya. Namun, kemudahan akses ini membawa sisi gelap: maraknya misinformasi dan disinformasi. Fenomena ini mengancam untuk merusak kebenaran, mendistorsi realitas, dan melemahkan sistem demokrasi.


Memahami Masalah: Misinformasi vs. Disinformasi

Untuk menangani masalah ini secara efektif, penting untuk memahami perbedaan antara misinformasi dan disinformasi. Misinformasi merujuk pada informasi yang salah atau tidak akurat yang tersebar tanpa niat jahat. Contohnya, berbagi saran kesehatan yang keliru dengan maksud baik. Sebaliknya, disinformasi sengaja dirancang untuk menipu atau memanipulasi. Ini adalah informasi yang digunakan sebagai senjata, seringkali untuk keuntungan politik, keuntungan finansial, atau pengendalian sosial. Bersama-sama, keduanya membentuk kombinasi yang kuat yang merusak kepercayaan publik dan mendestabilisasi masyarakat.

Penyebaran yang Semakin Cepat

Masalah ini berkembang pesat di era digital. Sebuah studi penting oleh Massachusetts Institute of Technology (MIT) menemukan bahwa informasi palsu menyebar jauh lebih cepat dan luas di media sosial dibandingkan kebenaran. Studi tersebut menunjukkan bahwa berita palsu 70% lebih mungkin di-retweet dibandingkan berita yang benar. Mengapa? Konten yang membangkitkan emosi, terutama cerita yang menimbulkan ketakutan, kemarahan, atau kejutan, cenderung menarik perhatian lebih banyak. Ini bukan sekadar masalah teknologi, tetapi juga psikologi. Manusia secara alami tertarik pada informasi yang mengonfirmasi bias mereka atau membangkitkan emosi yang kuat.

Platform modern seperti Facebook, Twitter, Instagram, dan TikTok memperkuat kecenderungan ini. Algoritma mereka dirancang untuk memaksimalkan keterlibatan pengguna, sering kali memprioritaskan konten sensasional dibandingkan keakuratan faktual. Hal ini menciptakan ruang gema---sistem tertutup di mana individu hanya terpapar informasi yang memperkuat pandangan mereka, tanpa memedulikan validitasnya. Akibatnya, platform ini dapat secara tidak sengaja mempromosikan narasi palsu, menciptakan lahan subur bagi kampanye disinformasi.


Konsekuensi di Dunia Nyata

Dampak disinformasi bukanlah teori belaka; ini memiliki konsekuensi nyata yang sering kali menghancurkan. Ambil contoh pandemi COVID-19: klaim palsu tentang virus, pengobatan, dan vaksin menyebar dengan cepat secara online. Misinformasi ini menyebabkan kebingungan luas, meningkatkan keraguan terhadap vaksin, dan kematian yang sebenarnya bisa dihindari. Sebuah laporan dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyoroti bahwa "infodemi" misinformasi secara signifikan menghambat upaya global dalam mengendalikan pandemi.

Di ranah politik, kampanye disinformasi telah menjadi alat untuk memanipulasi opini publik dan memengaruhi pemilu. Baik aktor domestik maupun asing menggunakan media sosial untuk menyebarkan narasi palsu, menciptakan perpecahan, dan merusak kepercayaan pada institusi demokrasi. Pemilu presiden AS tahun 2016 dan referendum Brexit adalah contoh nyata bagaimana disinformasi dapat membentuk hasil politik dan mendestabilisasi masyarakat. Kampanye ini sering kali canggih, melibatkan upaya terkoordinasi oleh bot, akun palsu, bahkan negara tertentu.


Lebih jauh lagi, disinformasi berdampak tidak proporsional pada komunitas yang rentan dan terpinggirkan. Kelompok ini sering menjadi sasaran narasi yang dirancang untuk mengeksploitasi ketidaksetaraan sosial atau ekonomi yang sudah ada. Misalnya, selama pandemi, beberapa komunitas dibanjiri informasi palsu tentang bahaya vaksin, memperburuk kesenjangan kesehatan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline