Lihat ke Halaman Asli

Pengalaman Saya Menjadi Seorang Seminaris di Seminari Mertoyudan

Diperbarui: 3 Oktober 2024   08:31

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Diary. Sumber ilustrasi: PEXELS/Markus Winkler

Hallo! Perkenalkan, Nama saya Michael Raditya Setiaji atau akrab dipanggil Radit. Saya berasal dari Bandung, tepatnya Paroki Santo Martinus Bandung. Saya adalah seorang seminaris tahun pertama atau kelas 0 di Seminari Mertoyudan. Saya sekarang saya duduk di kelas persiapan pertama (KPP), tepatnya KPP B dengan seorang wali kelas bernama Miss Elsa. Sejak tulisan ini diketik, saya sudah berjalan dan mengikuti berbagai dinamika di rumah formasi ini selama kurang lebih 70 hari lebih. 

Sebelum saya benar benar resmi menjadi seminaris, kami (saya dan teman-teman angkatan saya) harus mengikuti masa karantina untuk menyesuaikan diri di tempat ini selama 40 hari lebih. Setelah 40 hari tersebut, kami semua akan melaksanakan sebuah acara bernama Hari Orangtua/HOT. Selama 40 hari tersebut kami dilarang untuk berkomunikasi dengan dunia luar dan pergi keluar dari area seminari. Satu-satunya sumber informasi yang bisa kami peroleh hanyalah dari surat kabar. Juga dengan ponsel pintar yang saya miliki harus saya tinggalkan di rumah. Namun hal itu tidak menjadi masalah bagi saya. Saya memiliki banyak sekali teman disini. Sangat menyenangkan bisa memiliki teman dari berbagai daerah, sehingga kami bisa berbagi cerita dari berbagai sudut pandang yang berbeda. Ditambah lagi dengan tidak adanya senioritas disini membuat kami lebih akrab dengan kakak kelas seperti sebuah keluarga.

Namun, memilih untuk tinggal di tempat ini juga merupakan sebuah hal yang bisa dibilang "berani" menurut saya. Mengapa? Karena untuk bisa bersekolah disini, saya harus mengorbankan banyak hal. Pertama, saya harus jauh dari orangtua dan keluarga, mengingat tempat tinggal saya berada cukup jauh dari sini. Kedua, harus hidup mandiri dan disiplin. Itu wajib. Ketiga, harus siap tinggal bersama orang lain yang berasal dari berbagai daerah. Ketiga hal tersebut tidak menjadi masalah tentunya bagi diri saya sekarang. Saya bisa menikmati seluruh proses tersebut, karena saya rasa semua untuk membentuk dan membangun diri saya menjadi orang yang dewasa dalam hal pemikiran maupun tindakan. 

Sebagai seorang seminaris, pastinya saya juga memiliki tujuan kuat untuk datang ke tempat ini. Cita-cita saya menjadi seorang imam yang saya impikan sejak saya duduk di kelas 3 SD yang pada saat itulah saya pertama kalinya memiliki panggilan untuk menjadi seorang imam atau gembala bagi gereja. Panggilan saya tumbuh kala itu karena saya sering mengikuti misa di gereja setiap hari Minggu. Menurut saya ini adalah kesempatan bagi saya untuk menjadi garam dan terang bagi sesama. Akhir kata, "Tuhan yang memanggilku, maka bersegeralah aku menjawabnya". Sekian cerita dari saya.
-Radit

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H



BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline