Lihat ke Halaman Asli

Michael D. Kabatana

Bekerja sebagai ASN di Sumba Barat Daya. Peduli kepada budaya Sumba dan Kepercayaan Marapu.

Puisi yang Larut dalam Secangkir Kopi

Diperbarui: 9 Maret 2021   08:13

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

shutterstock.com

Kopi yang kubuatkan kemarin pagi mungkin agak pahit. Yang pasti kopi itu bukan racun untuk membunuh sebuah ketabahan. Kopi itu hanya bulir-bulir embun pagi sehijau daun untuk secarik ketabahan. Aku memberinya dengan asa sebingkis pagi yang hendak beranjak pergi tentu tanpa hati-hati.

Ada jeritan setelah tegukan pertama yang sengaja kita acuhkan. Tetapi itu bukan berarti kita abaikan. Kita masih meramu dengan pena keadilan. Mungkin akan menjelma purnama. Dan gelak tawaku hanyalah undangan kepadamu. Ajakan berdendang di bawah purnama yang mungkin dapat kita raih.

Semua orang hidup dari ketakutan. Ketakutan bukanlah malaikat maut berpakaian malam yang hitam pekat. Dan kita tidak sedang menyangkal kematian. Kita sedang bercanda ria dengannya, mungkin.

Malam tak perlu mengunjungi matahari. Bulan kekasihnya selalu setia menemaninya. Jangan menghardik malam tetapi cumbulah dia. Dan ajaklah dia menjadi kekasih yang selalu memberi jalan kepada pagi.

Aku akan selalu menyunguhkan puisi yang larut dalam secangkir kopi kepadamu. Atau mungkin aku akan menjelma menjadi semua puisimu.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline