Lihat ke Halaman Asli

Michael D. Kabatana

Bekerja sebagai ASN di Sumba Barat Daya. Peduli kepada budaya Sumba dan Kepercayaan Marapu.

Penganut Marapu, Anak Buruh Migran dan Sumbangsih Kita

Diperbarui: 16 Oktober 2019   08:53

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Foto: Nina Sumba Nihi

"Anthropologists have described Sumba as home to the world's last surviving megalithic culture. Like the lost civilization who once carved the uncanny Easter Island heads or the Mayans who mysteriously disappeared leaving only their great pyramids among the rainforest of Central America, the people of Sumba have often been driven almost to ruin by their obligation to build the mightiest tombs."

Potongan artikel tersebut saya temukan pada buku pemandu wisata dalam penerbangan pesawat Garuda Tambolaka-Denpasar. Selama kurang lebih 45 menit lama penerbangan, saya membayangkan bagaimana bisa masyarakat Sumba mempertahankan budayanya di tengah terpaan angin globalisasi dan modernisasi yang begitu deras. 

Selama berabad-abad sejarah Sumba berusaha mewariskan kekayaan tertingginya, yakni Marapu kepada generasinya. Ibarat sebuah mutiara yang terpendam namun tampak juga, Marapu diminati oleh banyak peneliti asing dan lokal.

Dari hasil penelitian itu, banyak kajian yang bermuara pada ruang absurd. Ada yang cepat menempatkan Marapu dalam kategori kekafiran, kekolotan, keterbelakangan; dan oleh karena itu saran mereka adalah kepercayaan tersebut harus segera ditinggalkan. 

Ditambah lagi sistem dan ada beberapa aturan dalam kepemerintahan di Indonesia yang kadang mempersulit keberadaan penganut aliran kepercayaan Marapu, cukup menyulitkan akses dan beberapa pemenuhan hak-hak dasar mereka seperti KTP, Akta Kelahiran, Akta Perkawinan dan lain sebagainya. Mungkinkah Marapu memang sedang menuju kepada era kemusnahan secara senyap?

Belum selesai dengan persoalan aliran kepercayaan dalam konteks lokal, di sisi lain index persoalan Human Trafficking kian meningkat di dunia. 

Bentuk eksploitasi korban yang terdeteksi perdagangan orang (Trafficking in Person) di seluruh dunia pada tahun 2010, eksploitasi seksual 58%, pekerja paksa 36%, jenis lain trafficking in person 6%, dan pengambilan organ 0,2%. Berdasarkan trafficking database IOM Counter dari tahun 2005 sampai Desember 2015 diketahui eksploitasi tenaga kerja berjumlah 6.826 (80.16%), eksploitasi seksual 747 (8.77%), belum bekerja namun terindikasi dapat mengalami eksploitasi tenaga dan seksual 938 (11.02%), tidak ada data 4 (0.05%). Total seluruhnya adalah 8.515 (100%). 

Di Indonesia diperkirakan ada 736,100 orang yang hidup dalam perbudakan modern, atau 0,029% dari total populasi Indonesia 257,564,000 orang. Korban termasuk laki-laki, perempuan dan anak-anak. [Global Slavery Index, 2016].

Ketika berbicara tentang orang-orang Marapu berarti berkaitan dengan anal-anak mereka sebagai generasi penerus, dan ketika berbicara tentang Anak Buruh Migran (ABM) di Sumba itu berarti melibatkan anak-anak orang Marapu yang kerap kali menjadi korban.

Karena itu kita diajak agar membagi segala potensi yang dimiliki untuk pertama, meningkatkan pemahaman warga penganut aliran kepercayaan marapu mengenai hak-hak komunitas marapu serta regulasi pemenuhan hak-hak mereka, dan kesadaran untuk memperjuangkan hak-haknya. 

Kedua, meningkatkan kapasitas, pengetahuan, dan ketrampilan bagi kaum milenial penganut aliran kepercayaan marapu sebagai agen perubahan dalam lingkungan mereka terlebih khusus dalam mencegah terjadinya perdagangan orang dalam lingkungan mereka. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline