Kasus pergolakan Papua ingin memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia setakat kini sebenarnya adalah salah satu kejadian traumatis bagi bangsa Indonesia. Jika membaca arah pergolakannya, kita seolah dihantar kepada ingatan traumatis saat Indonesia harus rela berpisah dengan salah satu anaknya yaitu Timor Timur yang sekarang dikenal Timor Leste.
Berawal dari persoalan rasisme yang dilancarkan sekelompok orang tertentu dengan menyebut para mahasiswa Papua sebagai monyet, kini berlanjut sampai kepada tuntutan Papua merdeka lewat pengibaran bendera bintang kejora depan istana kepresidenan sebagai bentuk keseriusan akan tuntutan keinginan untuk merdeka itu.
Persoalan tuntutan itu memang bukan hal baru karena sudah sering terjadi sebelumnya lewat gerakan Papua merdeka oleh kelompok yang menamakan diri Organisasi Papua Merdeka (OPM) yang didirikan pada tahun 1965.
Persoalan pergolakan itu seharusnya tidak perlu terjadi. Terlepas dari adanya mafia yang menjadi biang keroknya di belakang layar, pemerintah Indonesia mestinya terlebih dahulu lebih pandai mengambil langkah-langkah strategis untuk mengantisipasi keadaan terburuk terjadi. Memang benar bahwa pendidikan toleransi sebagai jalan antisipatif sudah diterapkan lewat berbagai sitem dan kurikulum baik lewat tulisan-tulisan, aturan-aturan juga kegiatan-kegiatan di sekolah-sekolah dan kampus-kampus. Hanya saja persoalannya adalah pendidikan itu tidak berlanjut sampai pada level politik dan pemerintahan.
Seharusnya, pemerintah mengambil langkah inisiatif untuk meminta maaf sebelum pihak yang menjadi korban yaitu masyarakat Papua menuntut permintaan maaf itu. Apa lagi tuntutan tersebut sudah mulai muncul dalam wajah anarkis yang telah memakan korban jiwa dan mulai ditunggangi dengan berbagai kepentingan oleh berbagai kelompok yang salah satunya adalah keinginan menjadikan Papua terpisah dari NKRI.
Pemerintah harus mengambil inisiatif meminta maaf karena persoalan rasisme tersebut bukan lagi sebatas persoalan perorangan, tetapi sudah pada tingkat etnis dan suku bangsa yang potensi kisruhnya sudah bakal dapat diprediksi karena sudah seperti ada bara api dalam sekam yang memang tidak padam dan seperti selalu terjaga akibat berbagai pengalaman pahit di masa lalu dan sulutan kepentingan dari beberapa kelompok berbahaya yang dapat mengancam kesatuan bangsa Indonesia.
Selain itu, sikap inisiatif meminta maaf dari pemerintah bukan saja berfungsi untuk mendamaikan suasana yang makin keruh dan hiruk pikuk, tetapi juga merupakan salah satu bentuk edukasi politik dari pemerintah kepada masyarakatnya. Setidaknya edukasi dan pesan moral yang dapat tersampaikan lewat tindakan itu adalah seruan agar semua rakyat Indonesia mesti bersama-sama bersikap santun, saling mengakui secara mutual demi kehidupan yang egaliter, dan ajakan untuk menerima dan mengakui perbedaan sebagai keindahan dan kekayaan.
Harapan kedepannya adalah pemerintah tidak saja semakin gencar mengirim pasukan keamanan dalam jumlah lebih besar ke tanah Papua, tetapi juga gencar untuk memberi porsi perhatian yang lebih besar dalam menyapa baik para pelaku rasisme maupun korbannya. Menyapa harus kepada kedua belah pihak adalah sebagai usaha untuk meminimalisir kisruh lain dengan alasan baru yaitu soal keberpihakan pemerintah.
Titik awal politik pengakuan itu adalah dari menyapa karena menyapa berarti ada usaha untuk memberi, mulai dari memberi perhatian, waktu, tempat, dan hati untuk semua keluh kesah masyarakat. Menyapa itu sendiri dapat termanifestasi lewat berbagai hal semisal dialog, mediasi, minta maaf dan berbagai bentuk usaha lainnya. Dengan tercapainya progress ini maka politik pengakuan dengan sendirinya akan lahir dan terus berkembang menjadi satu bagian utuh dari sistem demokrasi di Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H