Lihat ke Halaman Asli

Surat untuk Maria

Diperbarui: 21 November 2017   02:45

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

ilustrasi/arthursletters.com

Sahabatku, Maria

Aku melihat begitu banyak kesenjangan, di saat hatiku begitu hancur, begitu rapuh, menderita dalam bisu. 

Adakalanya aku bertanya: "mengapa kehidupan manusia dari waktu ke waktu semakin sulit?" 

"apakah hanya orang-orang kaya yang ditakdirkan untuk tertawa terbahak-bahak?" atau, " akankah orang miskin selamanya ditakdirkan untuk bekerja keras, diperas, diiming-imingi mimpi kesejahteraan?" 

"mengapa hanya segelintir orang, katakanlah itu para pejabat yang merasakan indah hingga lelapnya tidur dalam hormat orang?"

"Bukankah kita hidup di dalam suatu negara?" lalu, "apakah harus terkenal dulu baru bisa didengarkan orang segala kata walaupun itu tiada bermakna?" 

Aku tertegun bertanya pada diriku dan pada dirimu "dangkalkah pertanyaan-pertanyaan yang aku tanyakan?"

Sekarang tanyaku mengambang menyangkut banyak hal yang menjadi cibiranku kepada negara tanah airku, dengarlah tanyaku, Maria.

"Di negaraku untuk berkuasa harus menghabiskan banyak harta, masuk ke dalam partai politik, kampanye. Bukankah berkuasa atau memimpin itu merupakan suatu amanah dan pemegangnya hendaklah seorang ahli yang sudah memenuhi syarat-syarat itu? Seperti risalah orang-orang suci yang diceritakan dalam kitab agamaku dan agamamu?"

Aku sedih, terlalu melankolis. 

Dugaanku di negara ini kekuasaan adalah ladang uang, yang terus didodos semakin lancar uangnya, semakin dikeruk semakin tampak uangnya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline