Peringatan Sumpah Pemuda Ke-88 pada 28 Oktober 2016 sebenarnya adalah momentum bagi bangsa Indonesia untuk tersadar dari tidurnya selama ini. Bahwa bangsa ini sudah tidur dengan berselimut tebal reformasi dan demokrasi dimana bangsa Indonesia sendiri tidak memahami secara mendalam apa inti dari demokrasi dan reformasi itu sendiri.
Hal ini terbukti dari beragam kejadian-kejadian yang menjurus pada disintegrasi bangsa. Semua pihak mengatasnamakan demokrasi dan reformasi agar dapat mengedepankan maksud dan tujuannya masing-masing. Mirisnya hal ini dilakukan tanpa mempertimbangkan bahwa bangsa ini sangat majemuk dengan beragam suku bangsa, ras, dan agama didalamnya.
Dengan keadaan tersebut maka seolah-olah mencerminkan bahwa Proklamasi 17 Agustus 1945 itu tanpa konsep sama sekali. Apalagi Bung Karno saat itu sampai harus dijemput paksa oleh kaum muda Indonesia untuk membicarakan kemerdekaan Indonesia sampai saatnya tiba untuk membacakan teks proklamasi. Padahal kemerdekaan Indonesia bukan sama sekali tanpa konsep, hanya saja memang saat itu Bung Karno belum merasa ada persiapan matang untuk mendeklarasikan kemerdekaan.
Kemerdekaan Indonesia sudah ada konsep jelas, buktinya adalah perumusan Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945 sudah dilakukan sebelum proklamasi dibacakan. Dan UUD 1945 itu sendiri juga resmi menjadi landasan konstitusi negara Republik Indonesia sehari setelah proklamasi.
Hal inilah yang dilupakan oleh bangsa Indonesia, bahwa konsep Pancasila dan Konstitusi UUD 1945 itu sebenarnya adalah yang menjadi pemersatu sekaligus penyaring serta obat mujarab dari ketidaksiapan memproklamirkan kemerdekaan. Sehingga setelah proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, maka dimulailah siklus baru di Indonesia, yaitu siklus pemerintahan Presiden Soekarno dengan Negara Republik Indonesia.
" Indonesia memiliki tiga siklus, pertama adalah siklus keemasan Kerajaan Sriwijaya, lalu siklus masa keemasan Kerajaan Majapahit, dan terakhir adalah siklus masa pembentukan negara Republik Indonesia oleh Soekarno dan seluruh pendiri bangsa lainnya. Dan masaing-masing siklus membutuhkan waktu tujuh ratus tahun," ungkap Imam Ma'arif, budayawan dan seniman, dalam acara peringatan Sumpah Pemuda Ke-88 tahun 2016 di Museum Kebangkitan Nasional.
" Jika bangsa Indonesia terus terlena dengan demokrasi dan reformasi semu yang selama ini dijalani, serta tidak segera tersadar untuk bangun dari keterlenaan tersebut maka bahaya disintegrasi menuju kehancuran bangsa ini akan benar-benar terjadi. Dan jika disintegrasi bangsa sampai terjadi, maka bangsa Indonesia akan hancur dan butuh tujuh ratus tahun lagi untuk bangkit kembali," sambung imam lagi.
Jika demikian, apa yang keliru sebenarnya selama ini. Yang keliru adalah bagaimana bangsa ini atau negara ini di era reformasi dan demokrasi dengan begitu gamangnya mengamandemenkan UUD 1945 dengan berlandaskan beragam tujuan dan kepentingan. Padahal UUD 1945 itu adalah konsep penguat, atau sistem yang menguatkan proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945.
Karena amandemen tersebut maka negara ini dengan mudahnya terkontaminasi oleh beragam budaya, kepentingan, dan eksplorasi kekuatan-kekuatan asing. Bahkan dengan Undang Undang hasil amandemen saat ini, maka negara ini seolah menjadi bulan-bulanan intervensi asing. Akibatnya terjadi ketidakpuasan dari lapisan-lapisan masyarakat yang ada.
" Kaum Komunis akhirnya bermunculan dengan berlindung dibawah payung demokrasi, kaum Radikal berusaha juga merongrong kedaulatan dengan mengatasnamakan agama tertentu, dan masyarakat adat merasa diinjak-injak harga dirinya akibat kesewenang-wenangan pemerintah. Mereka melihat contoh betapa landasan konstitusi negara ini begitu mudahnya diubah-ubah atas dasar kepentingan kelompok per kelompok, sehingga mereka juga ingin perubahan dengan mengatasnamakan kepentingan masing-masing," papar Imam lagi.
Intinya adalah mulai tumbuh ketidakpuasan terhadap sistem yang dijalankan sekarang ini. Akhirnya saat ini bangsa Indonesia seolah tersesat di tengah jalan. Negara ini seolah gamang harus menyelesaikan masalah yang mana terlebih dahulu. Padahal, jika semua pihak yang menerima amanat kekuasaan dari rakyat dapat berfikir panjang kedepan dengan berkaca pada perjalanan sejarah, maka hal ini tidak akan terjadi.