Sebagai mahasiswa tingkat pertama di sebuah perguruan tinggi negeri di Jawa Barat, saya menjalani kehidupan perkuliahan di tengah orang-orang yang memiliki karakteristik dan idealisme yang berbeda-beda. Ada yang berfokus pada kegiatan akademiknya, ada yang lebih sering menyalurkan hobinya baik di bidang seni maupun olahraga, ada juga yang bangga membusungkan dada dengan mengaku-ngaku bahwa dia adalah seorang “aktivis kampus”.
Ada satu kata yang terus membuat saya bertanya-tanya dalam hati: kemahasiswaan. Sejak awal menginjakkan kaki di kampus ini, saya merasa selalu “dipaksa” untuk “ikut dalam kegiatan kemahasiswaan”. Padahal sebetulnya apa definisi dan makna dari kemahasiswaan itu sendiri?
Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan kemahasiswaan sebagai seluk-beluk mahasiswa; yang bersangkutan dengan mahasiswa. Menurut saya definisi ini cukup lugas; imbuhan ke- dan -an sudah cukup menjelaskan kata ini. Seperti keprofesian: hal-hal yang berhubungan dengan profesi; kepengurusan: hal-hal yang berhubungan dengan pengurus.
Jadi hal-hal apa yang bisa ditentukan bila melihat definisi kemahasiswaan tersebut? Cukup sederhana. Mahasiswa, jurusan, fakultas, perguruan tinggi, profesi, buku, jurnal, belajar, skripsi, dan sebagainya.
Akan tetapi hal yang muncul di benak saya adalah betapa pengertian kemahasiswaan yang begitu luas tersebut mengalami penyempitan makna yang drastis. Arti kata kemahasiswaan saat ini hanya merujuk pada hal-hal yang berbau non-akademis. Seolah-olah kemahasiswaan hanya berhubungan dengan hal-hal yang seremonial belaka. Mahasiswa mendemo pemerintahan, membuat gerakan-gerakan yang sok mencerminkan populisme, suka mengikuti kegiatan di kampus sampai melupakan belajar, dan masih banyak lagi.
Pada akhirnya kemahasiswaan hanya dipakai sebagai ajang kesombongan dan pamer di media sosial, atau yang beberapa orang katakan “panjat sosial”. Padahal belum tentu orang-orang tersebut memahami esensi dari apa yang mereka sebut-sebut sebagai kemahasiswaan.
Jadi apa esensinya?
Jujur saja, saya sendiri tidak tahu. Atau setidaknya, belum memahami. Saya sendiri masih menemukan jati diri saya sebagai seorang mahasiswa. Akan tetapi setidaknya inilah yang saya percayai.
Pertama, mahasiswa bukanlah siswa pendidikan dasar. Mahasiswa sudah bukan anak SMA lagi. Perbedaan mendasar antara mahasiswa dengan siswa SMA adalah bidang studi yang dipelajari. Mahasiswa sesungguhnya sudah menentukan bidang apa yang ia minati dan tekuni, yang diharapkan bisa dimanfaatkan untuk kehidupannya di masa depan.
Oleh sebab itu, sudah selayaknya mahasiswa dikaitkan dengan keilmuan keprofesian yang sedang ia persiapkan. Maksudnya, mahasiswa dituntut untuk memberikan inovasi-inovasi baru demi mewujudkan kehidupan bangsa dan negara yang lebih baik. Soekarno pernah mengatakan:
“Beri aku seribu orang tua, niscaya akan kucabut Semeru dari akarnya. Beri aku sepuluh pemuda, niscaya akan kuguncangkan dunia.”
Ya, mahasiswa sebagai pemuda dituntut untuk mampu memberi impact bagi bangsa. Tetapi, mahasiswa yang memperoleh statusnya dari keilmuan yang ia dalami tentu juga seharusnya memberikan kontribusi sesuai dengan apa yang ia kuasai.