Lihat ke Halaman Asli

Micariandy F K

Perencanaan Wilayah & Kota Universitas Jember

Food Estate - Solusi Krisis Pangan atau Sekadar Kepentingan Investasi Pemerintahan?

Diperbarui: 29 April 2021   04:57

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Melalui Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), pemerintah menjalankan arahan dari Presiden Joko Widodo untuk merealisasikan program pengembangan food estate dengan tujuan pembentukan daerah yang mampu menjadi lumbung pangan baru di luar Pulau Jawa. Dalam hal ini, pemerintah mencanangkan lokasi lumbung pangan baru ini di wilayah Kabupaten Pulang Pisau, Provinsi Kalimantan Tengah (Kalteng). Pemanfaatan 165.000 ha kawasan alluvial yang ada di lahan bekas Pengembangan Lahan Gambut (PLG), Kalimantan Tengah ini ditargetkan akan selesai dan sudah bisa dioptimalkan produksinya pada tahun 2022.

Secara konseptual, pengembangan program food estate ini termasuk ke dalam salah satu Program Strategis Nasional (PSN) Periode 2020-2024 yang turut melibatkan Kementerian BUMN melalui skema investasi. Dimana Kementerian PUPR memiliki wewenang dalam upaya pengembangan sarana prasarana penunjang dasar pertanian, seperti jaringan irigasi. Sementara Kementerian BUMN akan berkontribusi dalam hal pengembangan teknologi sebagai wujud optimalisasi dan intensifikasi hasil produksi pertanian.

Perumusan kebijakan food estate ini merupakan respon pemerintah atas kemungkinan timbulnya krisis pangan akibat pandemic virus COVID-19 dan musim kemarau yang berkepanjangan. Hal ini sejatinya juga telah disampaikan oleh Food and Agriculture Organization (FAO) yang telah memperingatkan negara-negara di dunia untuk bersiap menghadapi krisis pangan yang mungkin terjadi. Maka keberadaan program food estate ini diharapkan mampu membantu meningkatkan cadangan pangan nasional sebagai pengganti alternatif impor yang diprediksi akan sukar dilakukan di masa krisis.

Namun dalam realisasinya, program food estate ini kerap kali menghadapi permasalahan di lapangan. Salah satunya adalah kerugian yang dirasakan oleh sebagian petani di Desa Blanti Siam akibat pola tanam yang tidak sesuai kebiasaan. Dimana pemerintah memberikan arahan untuk melakukan perubahan pola tanam menjadi 3 kali dalam periode satu tahun dengan tujuan meningkatkan produksi pertanian. Namun nyatanya hal ini justru membuat hasil panen yang didapat menjadi tidak maksimal. Terlebih, setelah hasil panen mengalami penurunan, upaya pendampingan dari pihak pemerintah terutama pejabat kabupaten dan provinsi kian berkurang secara drastis. Hal ini tentu semakin menambah beban dan kekecewaan para petani yang terdampak secara langsung.

Di lain sisi, kebijakan food estate ini juga dinilai memiliki potensi dalam menimbulkan berbagai permasalahan lingkungan. Hal ini utamanya disebabkan karena lokasi terpilih termasuk dalam lahan sub optimal yang sudah mengalami penurunan kualitas dan kesuburan. Terlebih jenis tanah di wilayah Pulang Pisau didominasi oleh tanah mineral yang telah kehilangan unsur gambutnya akibat prosesi drainase secara masiv di masa PLG. Maka tak heran bila wilayah tersebut berpotensi mengalami kekeringan saat musim kemarau, dan banjir saat musim hujan. Oleh karenanya, realisasi proyek food estate ini benar-benar membutuhkan upaya pengendalian mutu pengairan dan kesuburan tanah melalui pemanfaatan teknologi yang optimal. Dengan begitu diharapkan program food estate ini tidak hanya menjadi kepentingan pemerintah semata, tetapi juga mampu memberdayakan masyarakat, terutama para petani secara komprehensif.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline