Salah satu kealamiahan dalam kehidupan rumah tangga adalah adanya riak pertengkaran. Cukup wajar, sebetulnya. Terlebih saat ditafakuri bahwa pernikahan bukan saja menyatukan kesamaan, tetapi menyatukan pula banyak perbedaan. Jadi, memang sunatullah bila kemudian terjadi perbedaan pendapat, perbedaan sudut pandang, dan perbedaan orientasi.
Persoalannya, ketika sepasang suami istri berada pada kondisi mudah sekali kehilangan logika saat dipertemukan dengan konteks pertengkaran. Seolah pertengkaran itu menjadi lampu kuning untuk berpisah. Padahal sejatinya tak demikian. Pun rasa kesal seorang istri kepada suami atau sebaliknya. Seringkali, kekesalan itu dijadikan alasan dasar untuk menutup pintu persepsi positif.
Dan tak sedikit dari pertengkaran yang ada, alasannya bukanlah hal yang prinsip alias hanya alasan sepele. Maka, dengan membuka diri untuk berdiskusi dengan lugas saja, masalah bisa diselesaikan. Namun karena adanya ketakdewasaan menyikapi, maka yang ada bukanlah sudut pandang tentang solusi, melainkan kereaktifan diri menyalahkan keadaan dan menghakimi pasangan. Padahal, kesalahaan itu sendiri bisa dibahas dengan duduk tenang sambil memberikan masukan alias harapan-harapan yang diinginkan.
Ini kaitannya dengan dampak yang akan dirasakan atau dialami anak-anak. Bila Ibu terlalu banyak murang-maring dan mudah sekali melayangkan kekesalan, maka aura negatif tersebut menjadi ketaknyamanan tersendiri buat anak. Dalam hatinya mereka akan bertaanya-tanya tentang sikap Ibunya. Kenapa? Ada apa?
Maka apalagi ketika kagi-lagi, anak-anak menjadi objek untuk mengekspresikan marah atas pasangan. Ini sangat tidak fair.
Kegugupan, kerendahdirian, ketakmampuan, dan ketakutan pada anak, itu sangat besar korelasinya atas ketakdewasaan orang tua dalam mengelola konflik. Artinya, dampak itu niscaya adanya. Maka betapa pentingnya kita menakar dampak. Dampak psikologis, dampak masa depan, bahkan dampak kemengelarian rezeki dalam keluarga. Semakin kita membesar-besarkan rasa kesal pada pasangan, bisa jadi semakin besar potenainya dalam meenyempitkan rezeki keluarga. Sebaliknya, semakin kompak dan semakin dewasa kita mengelola konflik, secara berbanding lurus akan meluaskan rezeki dan kemudahan.
Logikanya adalah, ketika rumah tangga itu dilandasi perasaan saling ridha, saling ikhlas, saling merasionalisasi kekurangan dan keterbatasan, maka Allah Swt. pun insnyaAllah bertambah ridha.
Oleh karenanya, penting untuk memperhatikan hal-hal berikut, agar kita tak terjebak pada sikap pragmatis alias ketakdewasaan menghadapi masalah.
1. Lihat dan cermati keterbatasan orang lain. Bagaimana mereka tetap bisa bersyukur dan tetap bisa happy meski dengan segala kekurangan.
2. Pandang dengan jujur masalah besar yaang dialami orang lain. Suaminya yang selingkuh hingga meninggalkan keluarga, suami yang tetiba harus di-PHK, anak-anak yang tertakdir menjadi yatim tersebab orang tuanya meninggal. Beban seperti itu tak seserhana. Dan masalah kita jangan-jangan, belum seperberapanya.