Berbicara pengasuhan atau parenting adalah berbicara style atau gaya atau ciri khas. Artinya, tidak ada kemutlakan model orang tua dalam konteks pengasuhan, yang bisa dikiblati secara utuh sebagai model yang paling tepat. Dan bagi kita sebagai muslim, model orang tua terbaik itu tentu saja adalah Rasulullah Saw.
Hal tersebut menjadi sebuah pemahaman bahwa kita tidak perlu fanatis dengan parenting style seseorang, karena setiap keluarga memiliki latar belakang yang berbeda. Mulai dari latar belakang personal anggota keluarga, hingga latar balakang sosiokultural (suku, daerah tempat tinggal, budaya, dan lain-lain).
Oleh karenanya, teori pengasuhan yang cukup klasik yang dikembangkan oleh Diana Baumrind sejak tahun 1967, tidak bisa dijadikan pembagian yang mutlak. Menurutnya, pola pengasuhan itu terdiri dari (1) otoritatif atau pengasuhan berpusat pada anak, (2) otoriter atau serba membatasi, dan (3) permisif atau pengasuhan serba boleh.
Nah, ketika berbicara konteks di lapangan, pola tersebut tidak berarti mutlak atau tidak bisa menjadi sebuah pakem. Artinya, kita tak bisa dibuat kaku bahwa model terbaik itu adalah model otoritatif. Padahal dalam kondisi tertentu, kita perlu mengadaptasi model otoriter maupun model permisif. Sebaliknya, kita tak bisa fanatis atau mengklaim bahwa model permisif itu paling tepat.
Terlebih bagi kita yang hendak menerapkan disiplin dan kepatuhan pada agama, pola asuh permisif tentu menjadi tidak tepat. Atau, kita sebagai orang Timur mengadopsi 100 persen pola asuh permisif dari benua Eropa. Itu pun menjadi hal yang tidak relevan. Maksudnya adalah bahwa kita perlu kecerdasan dalam menyesuaikan konteks.
Oleh karenanya, minimal kita punya pemahaman bahwa menjadi orang tua itu bagian dari ibadah, menjadi orang tua itu butuh upaya, dan menjadi orang tua itu siap menjadi model.
Artinya, bagaimana kita menjadi uswatun hasanah bagi anak kita sendiri. Uswatun hasanah itu role model. Artinya, bagaimana kita menjadi model untuk anak kita sendiri, tentunya sesuai kapasitas yang kita miliki. Minimal, kita punya kondisi emosi yang memadai. Minimal, kita punya energi positif.
Dalam konteks skill (keterampilan), memang ada bahkan banyak anak yang mewarisi keahlian yang dimiliki oleh orang tuanya, di mana orang tuanya secara langsung menjadi mentor atau menjadi pelatih. Seorang anak berhasil menjadi atlet, di tangan orang tuanya yang memang atlet atau mantan atlet.
Pun dengan anak yang menjadi musisi, karena memang dibesarkan dikawal langsung oleh orang tuanya yang merupakan musisi. Demikian pula seorang ibu penghafal Qur'an, mampu mengantarkan putra-putrinya menjadi penghafal Al-Qur'an, tanpa harus mengirimkannya pada sebuah ma'had.
Namun tentu saja, hal tersebut tidak bisa digeneralisisasi, di mana kita sebagai orang tua tak mutlak harus melinearkan sebuah keterampilan atau keahlian tertentu kepada anak. Atau sebaliknya, anak kita diarahkan untuk menguasai keterampilan tertentu (hafalan Qur'an, silat, musik, dan lain-lain), sedangkan kita sendiri bukan pengampu dari keterampilan tersebut. Ini TIDAK SALAH. Yang salah adalah ketika kita berada pada level songkong jongklok.
Apa itu sokong jongklok? Istilah tersebut adalah istilah familier dalam Bahasa Sunda yang artinya adalah cukup dengan menyuruh atau memberi saran tanpa kontribusi apa-apa. Dalam pengertian lain, kita hanya mampu memberi instruksi tanpa diimbangi motivasi, lalu dengan mudahnya megomentrari kekurangan dan kesalahan yang ada tanpa ikut bersama-sama memperbaikinya.