Lihat ke Halaman Asli

Miarti Yoga

Konsultan Pengasuhan

Mengompilasi Zaman, Melahirkan Pejuang

Diperbarui: 11 November 2020   07:36

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

ilustrasi bermain di kebun. (Dok. pribadi)

Salah satu dimensi dari sebuah perjuangan adalah kemampuan untuk bertahan, tepatnya: mampu bertahan dalam ragam kondisi tersulit. 

Contoh sederhananya adalah, bagaimana anak-anak kita dapat menyelesaikan tugas hingga tuntas, bagaimana mereka menyikapi amanah dengan positif (tanpa dramatis dan hiperbolis).

Bila menilik perjalanan sejarah dunia, pada abad ke-18 dikenal dua zaman, yakni zaman rasionalisme dan zaman naturalisme. Keduanya berkorelasi lagsung terhadap paham dan paradigma.

Paham rasionalisme berkeyakinan bahwa akal adalah sumber pengetahuan. Maka wajar bila pada zaman ini dikenal banyak penemu, seperti Galileo Galilei yang berendapat bahwa bumi itu bulat. 

Demikian pula dengan penemuan daerah, seperti penemuan Benua Amerika (walaupun berdasaran beberapa literatur, masih kontroversi terkait siapa penemu pertama). Artinya bahwa zaman rasionalisme telah memberi warisan paradigma kepada kita bahwa kecerdasan logika adalah sebuah ukuran kehebatan.

Sebagai koreksi atas paham rasionalisme, di abad yang sama, muncul paham naturalisme. Paham ini yang kemudian menentang keberadaan paham rasionalisme, dengan menghendaki keseimbangan antara kekuatan rasio dan hati.

Pada hari ini, di abad ini, warisan paham naturalisme, bergeliat dan bangkit. Salah satunya adalah, bagaimana sekian banyak orang mulai paham bahwa kecerdasan manusia bukan hanya intelektual, melainkan kecerdasan emosi, kecerdasan spiritual, dan lain-lain. 

Bahkan secara masif, pemerintah Indonesia melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, berupaya menggaungkan sebuah bangunan kurikulum yang pertajuk pendidikan karakter.

Salah satu pesan tersirat dari pendidikan karakter adalah mengingatkan bahwa kita tak boleh pragmatis menilai atau menghakimi anak, melainkan telusuri terlebih dahulu kronologinya. 

Demikian pula dengan konteks perolehan capaian. Dalam konteks pendidikan karakter, anak tidak saja diukur seberapa tinggi perolehan nilainya, melainkan juga disertai dengan sisi kualitatif prosesnya.

Jauh hari sebelum pendidikan karakter dikekalkan oleh pemerintah, perjalanan sejarah Rasulullah Saw pun telah menjadi sebuah literatur yang faktual bahwa agama Islam telah mengajarkan tentang pendidikan karakter. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline