Oleh : Miarti Yoga
(Penulis dan Konsultan Pengasuhan)
Tertawa konyol sekaligus miris saat melihat timeline di sosial media yang memberitakan IRONISME. Tepatnya, sekelompok anak gadis ABG di mana kondisi ekonomi orangtuanya "ripuh" (baca: sulit), berdandan habis-habisan plus mengenakan beberapa perlengkapan yang cukup kentara bahwa hal demikian memang diupayakan dengan "maksa".
Sambil "seuri koneng" (baca: senyum kesakitan), saya menafakuri hal demikian sebagai tanda "iya" bahwa fakta sehari-harinya memang ada.
Bukan tak ada motif, memang. Di balik dandan selangit, di balik gaya-gayaan, tentunya ada motif ingin dipercaya oleh orang sekitar. Di balik memaksakan diri, tentunya ada alasan untuk memanipulasi kondisi yang sesungguhnya. Di balik pakaian dan perlengkapan yang dikenakan, mungkin ada alasan untuk dapat setara dengan orang lain yang kondisinya cukup (mampu).
Saya sebagai orang yang lahir dari keluarga biasa, tentunya sangat sedih dengan berlebihannya sikap demikian. Pun sebagai ibu dari anak-anak di rumah dan juga ibu dari murid-murid di sekolah, tentunya punya bersitan KECEMASAN. Cemas apabila kelak anak-anak dihinggapi mental atau nafsu INGIN DIKAGUMI melalui cara yang tak seharusnya.
Dan cukup tercenung dengan seorang teman. Teman saya, yang apabila diukur dari finansial, insyaAllah cukup. Mampu.
Namun tak disangka, ketika suatu hari putranya yang tengah menempuh belajar di sebuah sekolah dengan bayaraan tak sederhana, tiba-tiba dibuat gelisah dengan merk tasnya. Alasannya sederhana. Salah satu temannya berkomentar dan bertanya tentang tasnya yang bukan merk "branded".
Galaulah anak tersebut atas persoalan tasnya. Dan kegalauannya bermuara pada tuntutan. Tuntutan untuk dibelikan ts bemerk. Sang Ibu tak merasa MUTLAK untuk meng-iyakan.
Selain memang tak baik untuk memenuhi keinginan tanpa dasar yang jelas, juga karena memang punya dasar bahwa anaknya tak ingin dididik dalam pola yang SERBA BOLEH. Pun dengan dengan dimasukkannya ke dalam lembaga mahal sekalipun, tidak berarti untuk disepadankan dengan gaya hidup.
Memilih sekolah lebih karena pertimbangan intangible asset alias nilai-nilai berharga. Nilai berharga yang mengemuka dalam visi misi dan program unggulan.