Kurasa hari ini matahari tidak akan lagi terbit. Entah sudah berapa lama sang matahari terus-menerus bersembunyi di balik hutan-hutan beton dan kabut berwarna keabuan yang pekat akan kesedihan. Bintang-bintang yang harusnya menari di langit malam kota ini sudah lama mati dan membusuk.
Meskipun begitu, aku tetap merindukannya.
Sepertinya aku tidak benar-benar tahu apa yang kurindukan. Matahari yang panasnya tak henti-hentinya membuatku berkeringat hingga membuat orang-orang menoleh ke arahku dengan tatapan keheranan. Seolah aku ini adalah hewan yang langka, mereka akan terkikik setelah aku lewat di hadapan mereka. Panas matahari yang menyengat, serta bajuku yang basah karena keringat.
Aku menatap diriku yang nanar di hadapan cermin.
"Menjijikan!"
Entah untuk siapa sumpah serapahku itu kutujukkan. Untuk orang-orang yang kutemui sepanjang jalan ataukah sosokku di dalam cermin yang mulai berembun karena deru napas tertahanku. Kutatap diriku yang terbakar kemarahan.
Seperti inikah wujudku yang asli?
Aku tidak tahu. Aku tidak pernah mengenal diriku sendiri. Aku tidak pernah mengerti apa yang sebenarnya sedang kucari atau keresahan apa yang begitu mencekikku hingga sekarat seperti ini.
Memaafkan.
Kudengar aku harus belajar memaafkan. Untuk meraih ketenangan dalam hidup mereka bilang aku harus belajar memaafkan dan menerima semuanya dengan dada terbuka. Tapi begitu tameng itu kuturunkan, sebutir peluru dengan cepat menembus jantungku.