Lihat ke Halaman Asli

Mia Rosmayanti

Freelancer

Lelaki yang Menginginkan Sepasang Sayap Itu Bernama Luka

Diperbarui: 28 Juli 2022   21:25

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Illustration by Joanna Rusinek

Aku sangat suka berdiam diri di satu tempat. Berlama-lama mengamati satu per satu orang yang keluar masuk dari tempat ini. Waktu favoritku adalah jam makan siang. Melihat orang-orang yang terburu-buru dikejar waktu, sementara aku bisa duduk di sudut ini sepanjang waktu, entah bagaimana membuat perasaanku menjadi penuh. Melihat orang-orang yang cemas melirik-lirik ke arah detik mendebarkan itu, entah bagaimana terasa sangat menyenangkan.

Ya, memang seperti inilah kehidupan harusnya berjalan. Berlari-lari, saling mengejar, saling menabrak, saling menginjak, saling menodongkan pisau. Seharusnya begitulah kehidupan ini berjalan. Setiap sudut di tempat ini hampir saja sempurna menggambarkan kehidupan ini, kecuali di satu titik itu. Laki-laki yang selalu tersenyum itu merusak gambaran yang sudah kubuat dengan susah payah.

Itu sangat aneh. Aku tidak pernah bertemu dengan lelaki seperti dia. Laki-laki biasanya akan bersikap keras dan mencoba terlihat dingin di depan orang lain, tapi aku tak pernah melihatnya seperti itu. Dia selalu tersenyum pada tiap orang yang Ia temui di jalanan, tersenyum pada cuaca saat sedang badai sekalipun, kepada tanaman-tanaman, kepada hewan, kepada jalanan yang dia lalui. Dia tersenyum pada semua hal yang Ia temui.

Aku tidak bisa berhenti bertanya-tanya, apa yang sebenarnya menyenangkan dari kehidupan ini hingga membuatnya tidak pernah berhenti tersenyum seperti itu? Hal itu membuatku memikirkannya setiap saat seperti orang bodoh. Bukannya aku sedang jatuh cinta, ini sama sekali berbeda, aku hanya berpikir agar bisa mencongkel matanya sekali-lagi agar bisa melihat kehidupan dari sudut pandangnya. Dengan begitu mungkin saja aku bisa sedikit memahaminya, tapi mana mungkin. Meskipun pikiranku sangat kelam dan kejam, aku sama sekali tidak pernah berniat melakukan hal-hal seperti itu. Aku benci bau darah, jadi mencongkel kedua matanya dengan kedua tanganku rasanya mustahil.

Mau bagaimanapun aku memikirkan tentang hal ini, semuanya terasa ganjil. Memikirkannya membuat perutku kram sekaligus mual di waktu yang bersamaan. Jadi aku cepat-cepat mengalihkan pandanganku darinya, memusatkan pada secangkir lemon tea yang kini sempurna kehilangan bongkahan-bongkahan es batunya. Semuanya mencair begitu saja, seperti waktu yang kuhabiskan di tempat ini. Duduk di tempat yang sama, memikirkan hal yang sama, menghentikan waktuku sendiri. 

Aku merasa semuanya akan sama seperti ini dalam waktu yang lama, sampai suatu hari laki-laki yang selalu tersenyum itu mendadak menghilang. Satu jam, dua jam, hingga tempat ini tutup, laki-laki itu sama sekali tidak terlihat. Ke mana dia? Apakah dia sudah kehilangan stok senyumnya? Karena itulah dia tidak bisa masuk kembali kecuali stok senyumnya sudah diisi ulang?

Ini sangat aneh. Maksudku, aku tahu dia memang aneh dari awal, tapi aku merasa cukup terganggu dengan semua ini. Aku tidak bisa memikirkan semua ini sampai-sampai tidak sadar kalau aku menjatuhkan barang-barangku, entah sejak kapan. Mau tidak mau aku mengambil semua barang-barangku, menunduk ke kolong meja-meja di tempat ini. Saat itu aku melihat sepasang mata yang berkaca-kaca sedang menatapku, meringkuk di salah satu kolong meja.

Mata kami bertemu beberapa lama dan aku sama sekali tidak peduli. Aku segera pergi dari tempat ini, tapi aku bisa merasakan kalau ada yang mengikutiku dari belakang. Aku tahu benar siapa yang sedang mengikutiku.

Tidak ada siapapun di jalanan sepi ini, jadi aku berbalik sambil berkata, "Apa maumu?"

"Meong." Jawabnya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline