Lihat ke Halaman Asli

Mia Rosmayanti

Freelancer

Dalam Kesunyian

Diperbarui: 24 September 2017   02:42

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku selalu menunggu. Kau tahu rasanya menunggu? Terasa dingin, senyap, dan beku. Apa kau mau tahu, seperti apa dingin itu? Rasanya seperti abu yang memaksa menerawangmu hingga sumsum tulangmu. Lalu menggerogot, menapaki kepala terhormatmu. Pernahkah kau merasakan kesenyapan itu? Sesuatu yang menyusup dalam relung ingatanmu. Lantas mengambang, mencoba menggapai tabir-tabir surya. Terbakar dalam sesuatu yang bahkan tak kau ketahui lagi bentuknya. Lalu seperti apakah bentuk dari kebekuan itu? Seperti kristal-kristal yang terbentuk selama jutaan tahun. Membuat darahmu mengental, sampai tak kuasa lagi mengalir. Dengan perlahan, kau akan makin mati rasa. Secara perlahan, kau juga akan kebingungan dalam helaan putus asa.

Meski terkantuk dan tertatih. Aku akan tetap menunggu hingga diri ini benar-benar merasa kosong. Di mana hanya ada detakkan jam yang bergulir dalam malam. Saat benang-benang ilalang merobek dalang kenistaan. Terlalu lalai, memang. Terlalu egois pun, sudah jelas. Selalu menunggu kesendirian. Maka jika mereka dan kalian bertanya padaku, tentang apakah arti dari setiap nyawa yang melintas? Maka aku akan menjawabnya dengan perlahan. Agar kalian paham. Agar aku tak perlu menjelaskannya berkali-kali. Akan aku sulam hingga jaring-jaring terkecilnya. Seperti embun yang menempel pada jaring laba-laba. Lalu memenuhi hutan beraroma air mata.

Bagiku, mereka semua adalah tawa. Sesuatu yang kudengar setiap harinya. Kadang memekak telinga. Menyentuh langsung pada selaput-selaput senja. Telingaku sering kali menjerit, membentakku berkali-kali. Saat menjelang malam, aku bisa mendengar suara tangis dari dinding putih yang dingin, seolah tak tahu apa yang sedang terjadi. Semakin dingin dinding itu, maka suaranya akan semakin keras terdengar. Terkadang dinding ini tergetar. Bukan hanya tangis, tapi ia juga membentur-benturkan kepalanya. Dinding putih yang dingin itu makin lama makin memanas. Bukan karena dinding marah, tapi emosi manusia itulah yang mengantarkan energi menyesakkan ini. Marah bercampur kecewa yang menjadi rasa dari sebuah perang sukma.

Bagiku, mereka semua adalah langkah. Terus mendekat, melintasi wajahku, kau makin menjauh. Langkah yang berbeda-beda. Ada langkah naf terdengar menyeret remah-remah waktu. Menggores lantai-lantai yang tak kalah dingin. Ada pula langkah yang menghentak-hentak retakkan sekat, menghujam bumi. Membangunkan jiwa dalam tanah-tanah surga.

Bagiku juga, mereka adalah udara. Yang menerjang malam, meletupkan bintang. Sesuatu yang keluar dari sebuah kurung keabadian. Yang melambung, meninggalkan takdir-takdir terbuang. Menghapus ingatan dan menerpa semua kebohongan menyentuh kekosongan, membuang semuanya. Lalu memutus rantai-rantai Sang Jawanta.

Lalu, siapakah aku bagi mereka? Sesuatu yang tak bernyawa. Tanpa emosi, membiarkan semuanya berlalu. Melewatiku dengan bisik-bisik tertahan. Aku hanyalah tempat bagi mereka, untuk menggemakan suara. Sebagai jalan yang panjang menuju mimpi lelap mereka. Aku hanyalah lorong gelap tanpa suara. Yang membiarkan semua orang masuk dalam pintu-pintu menuju kubus kenyamanan. Meninggalkanku. Tak pernah menganggap aku di sini. karena mereka telah menyatu dalam jiwaku. Menikmati segala yang kupunya. Bahkan saat suara mereka menggema, mereka tetap tak pernah menyadari, kalau aku ada. Biarlah, aku sudah mulai terbiasa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline