Lihat ke Halaman Asli

Mia Rosmayanti

Freelancer

Tetaplah Hidup

Diperbarui: 27 Agustus 2017   13:09

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Lambaian angin menderap langit beberapa lama. Di sini ada banyak hal yang bisa kulihat. Saat kepalaku mendongak, aku mulai berpikir mengenai birunya langit. Sampai saat ini aku masih bertanya-tanya, apakah langit itu? Apakah sesuatu yang nampak biru dari bawah sini adalah langit? Lalu seperti apakah bentuk sejati langit itu? Entahlah. Semakin aku memikirkannya, aku semakin tak bisa menemukan jawabannya.

Kepalaku mengerang sakit. Seperti ada sesuatu yang menggumpal dan tak dapat diluruskan lagi. Sebuah tangan mendekapku dari belakang. Jari-jari kecil dan halus itu terasa sangat menenangkan. Aku mengenalnya, tangan hangat ini adalah tangan Ira. Aku menyentuh tangannya dan memintanya untuk melepaskan pelukannya.

"Kau melamun lagi? Apa perasaanmu sedang tidak tenang?" Kini ia beralih ke hadapanku.

"Tidak mungkin. Bukankah sudah kukatakan berkali-kali. Hanya bersamamu saja sudah membuatku tenang, tidak ada hal lain." Aku menyentuh kepalanya dengan halus.

Aku bisa melihatnya merona dengan tatapan malu. Sejenak waktu yang melenggang bagai gasing cepat ini, berhenti. Suara merdu mulai merasuki jiwa-jiwa yang merasa mati. Saat angin menyenggol sedikit nyawa-nyawa yang mulai kehilangan akal. Angin itu tetap saja menyejukkan. Aku sangat menikmati angin yang mendesir di sela-sela  aliran darahku.

Langit mulai menjelajah gelap. Suara-suara langit mulai merambah di antara rambatan waktu. Satu dua lidah-lidah api mulai terjulur ganas. Aku rasa hujan akan segera datang. Suara rintihan angin yang ketakutan mulai bergerak tak tentu arah. Di situ, rintik hujan mulai turun satu per satu.

Melodi rintikan itu terdengar pelan dan lambat. Teramat pelan dan lambat. Guyurannya memanjakan perasaanku. Aku sangat menyukaimu, Ira. Bisakah kau mendengarku? Aku menoleh di ujung perasaan ini. Ira dengan mata lembutnya berlinang hangat. Aku menarik napas dalam-dalam. Tak ada yang perlu dikhawatirkan, dia masih di sini bersamaku.

Aku mulai menadahkan tangan untuk menampung sejumput air hujan. Hujan ini masih dingin seperti biasanya. Tidak ada yang berubah. Hujan ini memang lebih dingin dari biasanya, tapi itu tak akan apa. Aku akan menerimanya jika harus seperti ini selamanya. Duduk bersamanya.

Lenggang di antara waktu, mendesah kalap menantang angin yang parau. Saat ini jari-jariku mulai membeku. Aku hanya bisa menatap berjuta cahaya yang semu. Lihai dalam tutur, beretika saat berbaur, di situlah aku mulai menganggap jiwa itu begitu luhur. Kau memberi arti dalam, pada sebuah senyuman. Senyum itu begitu indah merayu.

Kilat-kilat daun begitu gemerlap dalam gemercik air. Jangan pernah ragu menatap dirimu. Suara insan di dalam mimpi begitu sunyi. Hanya hembusan napas yang terdengar dengan jernih mengalir. Kebencian, kini menggumpal di antara kepala-kepala mata angin. Cahaya redup bercampur sayup, kini semuanya hanyut dalam gelayut.

Jantung ditempa sedemikian rupa hingga dapat mempertahankan setiap detakannya. Tulang dibentuk sekuat mungkin untuk dapat menahan rangkaian lainnya. Merah dan putih di dalam sebuah kata yang begitu berarti. Aku selalu menemukan sesuatu yang berlawanan di antara sekrup-sekrup suci kepalaku. Pelangi tak lagi berwarna. Itu hanya terjadi bila aku tak lagi memiliki sebuah mimpi yang berarti bagimu.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline