Aku tau terlambat untuk mengucapkan terima kasih secara pantas kepadamu. Mustinya kulakukan saat itu di hadapanmu. Mengingat begitu baiknya dirimu kepadaku.
Karena kebaikanmu aku bisa bertemu dengan temanku, tetapi bukan itu yang utama. Yang terutama adalah kita bisa bersama dalam waktu yang lama. Suatu anugerah yang luar biasa untukku. Belum pernah aku melakukannya sepanjang hidupku. Dan aku tidak menyesal memutuskan 'ya' dengan tawaran yang kau berikan pada malam itu.
Duduk di sampingmu berjam-jam dengan cerita atau bahkan saat tanpa kata dan hanya diam, tetap terasa nyaman bagiku. Hatiku bergejolak seperti deru mesin kereta setiap menatap matamu. Bahagia ini membuatku sedikit tidak waras. Maafkan aku, Mas.
Aku kadang buta dengan kode. Tidak tanggap dengan tanda. Tapi malam itu aku harus menahan diriku. Dimana sakit menjadi satu alasan yang menyebalkan bagiku. Cukup hanya akulah yang tau. Dan aku harus tau batas supaya aku tetap waras. Sekali lagi, maafkan aku Mas.
Antara terima kasih dan maaf. Mana yang harus aku dahulukan. Namun keduanya tetap kuucapkan kepadamu.
Maafkan aku atas kebodohanku. Bersabarlah sedikit agar aku bisa belajar lagi. Terima kasihku kepadamu karena merasakan kehadiranmu dekat di sisiku. Mengingat itu kembali membuatku ingin berlari kepadamu.
Kini hanyalah harapan yang aku miliki sebagai pegangan meniti hari.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H