Lihat ke Halaman Asli

Mia Marissa

juga menulis di miamarissa.blogspot.com, ruangpeppermint.web.id, dan kembalikeakar.com.

Belajar Sepanjang Masa (Pandemi)

Diperbarui: 5 Juli 2020   11:42

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Apa yang sudah kaupetik selama pandemi? Apakah selada, kangkung, hikmah, atau ilmu?

Jangka waktu 3-4 bulan merupakan waktu yang cukup untuk memetik hasil panen, bahkan ada yang sampai berkali-kali panen. Kangkung, bayam, selada, dan sawi hanya butuh 3-5 minggu untuk dipanen. Sementara cabe dan bawang biasanya baru bisa dipanen setelah 2-3 bulan. Para pegiat kebun tentu lebih paham soal ini. Berkebun menjadi pilihan yang menarik bagi sebagian kita yang sedang di rumah saja. Tidak hanya karena manfaat ekonominya, tetapi juga karena kegiatan ini membuat kita bisa menyalurkan sifat produktif dan tentunya memperoleh kepuasan dari hasilnya.

Selama pandemi ini, disadari atau tidak, kita seperti me-reset perjalanan karir, gaya hidup, dan mungkin saja visi atau makna hidup. Ada yang mendefinisikan kembali profesi yang dijalaninya dan apakah dunia masih membutuhkannya. Ada yang memulai kebiasaan baru, yang nyatanya memang benar efektif menunjang kesehatan fisik dan mentalnya. Ada yang menemukan arah ke depan setelah menggali ke dalam diri. Ada yang bangkit setelah mengalami kejatuhan dalam usaha, bisnis, maupun rasa duka.

Proses yang dialami setiap orang berbeda-beda. Kondisinya sama, yakni pandemi Covid-19, tetapi pemaknaan pada tiap orang bersifat personal. Dari pengalaman dan pemaknaan ini, kita memetik hikmah.

Salah satu yang berlimpah selama pandemi ini, selain udara, waktu, dan rasa syukur, adalah ilmu. Ini pendapat saya pribadi, dan saya yakin cukup banyak orang yang ikut mengangguk setuju. Ada banyak deretan pakar dan tokoh yang saya petik ilmunya, yakni dari Dr. Dion Dewa Barata yang berbagi tentang mengajar daring, Dr. Muhammad Faisal peneliti anak muda, Dr. Indun Lestari Setyono ahli menangani kesulitan belajar, Sumardiono dan Mira Julia pegiat homeschooling, Alia Swastika kurator seni, Maria Tri Sulistyani pendiri teater boneka, dr. Zicky Yombana, Sp.S dokter neurologi, Kunto Aji seorang musisi yang berbagi pengalamannya seputar kesehatan mental, dan masih banyak lagi. Tidak pernah saya bayangkan sebelumnya bahwa belajar dari mereka bisa semudah mengakses media sosial.  

Dalam pandangan lama, belajar dari para tokoh atau pakar adalah dengan menghadiri seminar, yang kalau lokasinya jauh, biayanya mahal, atau waktunya tidak pas, maka tidak bisa ikut belajar. Sekarang ini, banyak ilmu yang bisa dipetik meski hanya dari rumah, di antaranya melalui webinar, kulwap, kanal youtube, podcast, atau online sharing lainnya. Apabila waktu belum cocok, rekaman suara atau tayangan masih bisa diakses saat sudah senggang. Belajar di mana saja, dari siapa saja, dan kapan saja, benar-benar perwujudan pembelajaran sepanjang hayat (lifelong learning), dan hal ini bisa dilakukan dalam bentuk pembelajaran jarak jauh (distance learning).

Pembelajaran sepanjang hayat

Terlepas dari ilmu yang bisa kita peroleh dari pemaparan narasumber, pembelajaran sepanjang hayat memiliki manfaat tersembunyi bagi perkembangan pribadi kita. Apa saja manfaatnya?

  • Mengasah fleksibilitas berpikir. Kita sering mendengar, kan, ujaran yang menyatakan bahwa orang-orang yang punya pemikiran sempit dan kaku itu "mainnya kurang jauh". Dengan banyak belajar, melihat, dan mendengar hal baru, ibarat kita "bermain agak jauh" sehingga bisa menyaksikan sudut pandang yang berbeda dan memberi kita pemahaman yang lebih utuh sebelum membuat penilaian.
  • Memupuk kerendahan hati. Datangnya pengetahuan baru bisa jadi menimbulkan keraguan, yang kemudian menggiring munculnya rasa ingin tahu untuk mencari dan menggali lagi, karena menyadari betapa luas dan dalamnya ilmu di luar tempurung kepala kita.
  • Mengembangkan kepercayaan diri. Percaya diri bukan berarti tinggi hati, kebalikan dari poin sebelumnya. Kepercayaan diri berkembang seiring munculnya perasaan puas karena mampu menggunakan pengetahuan yang dimiliki untuk mengatasi permasalahan yang dialami. Pengalaman berbagi pengetahuan juga menimbulkan rasa percaya diri.
  • Meningkatkan keterampilan interpersonal. Apabila belajar online-nya hanya menonton, keterampilan ini kurang terasah. Akan tetapi, bila kita turut mengajukan pertanyaan atau pendapat, sebenarnya kita sedang melatih keterampilan sosial sebagai warga digital, seperti misalnya berkomunikasi lisan dan tulisan menggunakan kalimat yang mudah dipahami, membaca situasi diskusi, saat kapan berpendapat, serta saat kapan mendengar dan memberi giliran, dsb.
  • Menyehatkan otak. Sudah banyak terbukti bahwa orang-orang yang terus belajar sepanjang usianya memiliki risiko lebih kecil menderita demensia saat usia lanjut. Otak kita aktif bekerja saat berpikir, mengingat, dan berimajinasi.
  • Mendukung perkembangan karir. Hasil belajar bisa mempertajam dan memperdalam kompetensi yang sudah ada, atau justru menambah kompetensi baru. Dalam prosesnya, kita menjadi semakin ahli dalam bidang yang ditekuni, dan membuka kesadaran baru mengenai renjana (passion) yang dimiliki.

Paket manfaat ini bisa didapat saat belajar online, apabila kita rajin melakukan evaluasi setiap selesai proses belajar, yakni dengan mencatat atau menyimpulkan hasil belajar dan kaitannya dengan pengetahuan/keterampilan yang sudah dimiliki. Nah, apabila belajar hanya sekadar lewat, jangan heran jika buah-buah ilmu yang sebenarnya bisa dipetik, jadi terlewat juga. Yuk, belajar lagi!

Referensi:

Hildebrand DS (2008) dalam Laal, Marjan. 2012. Benefits of lifelong learning. Procedia -- Social and Behavioral Sciences 46. 4268-4272. 




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline