Lihat ke Halaman Asli

Mia Marissa

juga menulis di miamarissa.blogspot.com, ruangpeppermint.web.id, dan kembalikeakar.com.

Ramai Instagram Live, apakah medium bagi personal wisdom?

Diperbarui: 2 Juli 2020   06:27

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Bagi warganet yang juga pengguna media sosial, pasti tidak asing dengan Instragram, dan salah satu fiturnya yang sedang tren saat ini, Instagram Live. Fitur Instagram Live menayangkan siaran langsung dari satu orang atau percakapan antara dua orang (kelak, menurut berita, bisa lebih dari dua orang), yang bisa ditonton oleh para pengguna Instagram di manapun. Karena terjadi saat itu juga, kita yang menonton seakan merasakan suasana langsung dengan penyaji dan bisa terlibat interaksi dengan cara berkomentar, bertanya, dan memberi tanggapan.

Fitur siaran langsung (live streaming), termasuk juga di Facebook Live dan YouTube, sudah tersedia sejak beberapa tahun lalu, dan semakin ramai digunakan akhir-akhir ini, sebagai salah satu kegiatan mengisi waktu di rumah saja. Meskipun ruang gerak warga sedang dibatasi sebagai bagian dari protokol penanganan Covid-19, bagaimanapun juga, keinginan bersosialisasi merupakan sifat alami manusia. Tak ada perjumpaan fisik, jumpa virtual pun jadi.

Ada banyak konten yang ditayangkan secara live, mulai dari berita atau pesan untuk publik, seminar, talkshow, konser, kuliah, tutorial, ulasan (review), demo produk/jasa, olahraga, tarian, pertunjukan seni, penggalangan dana, wawancara, atau bahkan aktivitas sehari-hari dari penyajinya, entah ia seorang pesohor atau awam.  Dari semua konten yang banyak rupa tersebut, saya tertarik untuk mengulas konten wawancara dalam tulisan ini.

Belajar dari siapa saja

Biasanya wawancara dilakukan dengan narasumber atau orang yang dianggap dapat menjadi sumber informasi dari bidang mereka masing-masing. Topik bahasannya tentang kesehatan, pendidikan, kebijakan pemerintah, fenomena sosial, psikologi, finansial, cita rasa seni, karya, resep masakan, meditasi, spiritualitas, dan sebagainya. Wah, ada begitu banyak hal yang bisa diperbincangkan dan dipelajari selama pandemi ini, dari orang-orang yang mungkin dalam kehidupan offline belum pernah atau sulit kita jumpai. Sebagian besar siaran wawancara ini tidak berbayar, hanya perlu bermodal kuota internet untuk bisa menyaksikannya.

Pada masa inilah, kita bisa belajar dari siapa saja. Belajarnya bisa apa saja. Tempatnya bisa di mana saja. Waktunya, menyesuaikan jadwal tayang jika ingin menonton live, atau bisa kapan saja jika konten tersebut disimpan secara permanen.

Menariknya, tak hanya soal keahlian narasumber, kita juga bisa belajar dari sudut pandang pribadi mereka, berdasarkan pengetahuan pribadi, pengalaman, dan perasaan mereka. Ini yang membuat saya berpikir tentang personal wisdom atau kearifan pribadi. Kearifan yang mereka bawa dan yakini dalam hidupnya selama ini. Buah-buah kearifan ini, jika kita mau peka untuk menyadarinya, akan sangat memperkaya cara pandang kita.

Personal wisdom

Kita bisa anggap personal wisdom sebagai pencerahan seseorang dalam hidupnya, yang tidak berkorelasi dengan kekayaan dan prestasi (artinya, tidak harus kaya dan juara baru bisa bijaksana), tetapi justru bergantung pada kematangan pribadi dan kemampuan penyesuaian diri dalam setiap perjalanan hidupnya. Tidak ada kebijaksanaan atau kearifan pribadi yang paling benar di antara semuanya, melainkan sangat bervariasi, karena setiap orang mengembangkan kebijaksanaannya sendiri (Marques, 2007). Kita semua masing-masing memiliki panggilan hidup yang berbeda maka bertemu tantangan yang berbeda dan menarik pelajaran yang berbeda juga.  

Seperti apakah orang yang memiliki personal wisdom? Menurut paradigma Bremen (Staudinger, 2013) orang yang memiliki personal wisdom biasanya sudah mengenal dirinya secara mendalam, baik dalam hal kompetensi, emosi, tujuan, maupun makna hidupnya. Ia mampu mengelola emosi meskipun dalam situasi sulit dan tetap mengembangkan relasi sosial yang sehat. Ia mampu mengambil jarak dengan dirinya dan merefleksikan hal-hal yang memicu perilaku dan perasaannya. Dalam prosesnya ini, ia mampu menerima dirinya serta menoleransi perbedaan pada orang lain. Pandangannya terbuka untuk melihat bahwa ada hal-hal yang ambigu atau tidak sesuai kenyataan, tidak pasti, tidak bisa dikontrol ataupun diprediksi.

Dari deskripsi tersebut, kita bisa bayangkan betapa kaya pengalaman bermacam-macam orang, apalagi bila sudah menjadi self-insight yang dimiliki orang tersebut. Sangat mungkin kita menemukan pandangan yang baru atau berbeda, yang berasal dari penghayatan personal orang lain. Biasanya kearifan ini bisa kita kenali dari pilihan sikap, peran, nilai atau prinsip yang dipegang, serta keputusan yang diambil. Fenomena ramainya wawancara, sharing, atau diskusi yang dilakukan melalui media sosial tampaknya bisa dimanfaatkan sebagai medium memperluas wawasan dan memetik kearifan pribadi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline