Berbicara tentang pernikahan, maka anak atau keturunan adalah bagian yang tidak terpisahkan. Setelah mendapat keturunan, maka permasalahan selanjutnya adalah jenis kelamin dari anak yang dilahirkan, perempuan atau laki-laki. Budaya patriarki secara turun temurun membentuk perbedaan perilaku, status dan otoritas antara laki-laki dan perempuan.
Distribusi kekuasaan laki-laki memiliki keunggulan dibanding dengan perempuan dalam satu atau lebih aspek, seperti penentuan garis keturunan (keturunan patrilineal eksklusif dan membawa nama belakang), hak-hak anak sulung, otonomi pribadi dalam hubungan social dan lain sebagainya. Budaya ini dapat dilihat dalam adat istiadat etnis batak toba. Dimana etnis batak toba sendiri, sangat menjunjung tinggi keberadaan seorang anak laki-laki di dalam keluarga. Karena anak laki-laki dianggap mampu meneruskan marga keluarga, sedangkan anak perempuan tidak.
Prinsip ini tidak jarang menimbulkan masalah-masalah baru. Munculnya pemikiran dalam diri anak perempuan tentang perlakuan khusus orang tua kepada anak laki-laki, secara tidak langsung menimbulkan rasa ingin bersaing dengan saudaranya sendiri, anak perempuan yang harus hormat dan patuh pada saudara laki-laki (ito, dalam etnis batak toba) juga membuat banyak anak laki-laki menjadi tidak menghargai keberadaan saudara perempuannya. Dimana, keberadaan seorang anak perempuan menjadi tidak begitu berharga. Anggapan bahwa anak perempuan tidak perlu berpendidikan tinggi, posisi dalam pekerjaan juga jangan sampai lebih tinggi dari pasangannya, bahkan bagian warisan untuk anak perempuan tidak jarang terlupakan. Sehingga tidak sedikit anak perempuan yang merasa kekurangan kasih sayang dari keluarganya.
Padahal jika di lihat dari sudut pandang perbuatan atau memberi perhatian kepada orang tua, maka yang dituntut untuk berperan besar adalah anak perempuan. Lalu, apakah budaya patriarki ini merugikan bagi pihak perempuan? Tentu saja jawabannya iya. Karena pada prakteknya banyak anak perempuan yang dilema tentang memilih karir, keluarga atau orang tua. Sedangkan anak laki-laki cenderung lebih dibebaskan memilih jalan hidupnya. Tidak sedikit pula anak laki-laki yang lebih banyak menuntut hak, tetapi melupakan tanggung jawab nya. Apabila orang tua sudah lanjut usia, tentu saja kesehatan dan kesejahteraan orang tua menjadi tanggung jawab anak-anaknya.
Pada realita sekitar yang saya lihat, banyak orang tua yang memilih untuk tinggal dirumah anak perempuan daripada anak laki-lakinya. Ada banyak pertimbangan di dalamnya, beberapa di antaranya adalah perhatian dan kasih sayang anak perempuan terhadap ibu kandung pasti jauh lebih besar dan tulus daripada menantunya, untuk menjaga perasaan menantu, atau takut akan menjadi masalah dan perdebatan di dalam keluarga anak laki-lakinya. Hal ini kian menambah kesan tidak adil orang tua dalam bersikap, sehingga menimbulkan pemikiran, saat senang yang di ingat anak laki-laki sedangkan susahnya ke anak perempuan.
Pada dasarnya, adat istiadat atau budaya yang telah ada sejak zaman nenek moyang ini, tidak dapat di ubah sesuka hati. Tetapi sebagai orang-orang yang modern, kesadaran tentang kesetaraan gender juga harus tumbuh dalam diri masing-masing orang. Bukan untuk melupakan kebiasaan yang telah ada, tetapi untuk terciptanya rasa saling menghargai karena zaman kian berkembang dan kita tidak bisa terus hidup dalam bayang-bayang masa lalu. Perubahan yang diciptakan tidak akan mengubah inti dari kebudayaan, tetapi agar bagaimana suatu kebudayaan dapat terus diterima oleh setiap generasi dan menyesuaikan dengan kebutuhan zaman.
Untuk mengatasi permasalahan ini, yang paling diperlukan adalah kesadaran pribadi untuk lebih menyadari bahwa setiap orang tidak peduli apakah dia perempuan atau laki-laki memiliki kesempatan, hak serta tanggung jawab yang sama dalam hidup ini. Kesadaran untuk tidak mencampuri urusan ataupun keluarga orang lain, juga sangat diperlukan dalam terwujudnya keseimbangan dalam budaya patriarki. Karena banyak dari keluarga yang masih terikat budaya patriarki mengalami kerusakan, bahkan hingga perceraian karena orang-orang yang berasal dari luar keluarga itu sendiri.
Peran orang tua juga sangat di tuntut dalam mengurangi dampak dari budaya patriarki ini. Tentang bagaiamana seorang anak perempuan juga harus setara dengan anak laki-laki dalam hal mendapatkan kasih sayang, Pendidikan, dan pilihan masa depannya, bagaimana agar hak dan tanggung jawab juga bisa seimbang antara anak laki-laki dan anak perempuan.
Perubahan yang diciptakan tidak akan mengubah inti dari kebudayaan, tetapi agar bagaimana suatu kebudayaan dapat terus diterima oleh setiap generasi dengan menyesuaikannya dengan keadaan. Kebudayaan yang telah ada memang harus terus di jaga dan diwariskan, namun tidak salah apabila memang harus ada perbaikan dan peninjauan akan kebudayaan yang telah ada tersebut. Untuk menciptakan kenyamanan dan keadilan bagi setiap insan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H