"Cil, lakasi tolongiakan ulun. Ulun balakas." Suara Perempuan itu sedikit berteriak dengan nafas tersengal-sengal.
Kur sumangat... terlihat seorang bocah kecil dalam gendongan. Suara sapatu wanita muda berperawakan ceking itu seperti nada Allegro, berpadu dengan suara jangkrik yang bertengger di semak-semak jalan setapak menuju keluar dari parkiran hotel.
Jujur orderan pelanggan malam itu membuatku was-was. Hanya modal yakin lillahitaalla, tawakal karena Allah mencari rejeki halal kuberanikan menembus gelapnya malam. "Ini sangat berisiko, Jum. Hati-hati! Jangan asal terima orderan orang! Ini tengah malam!" pekikku dalam hati.
***
Kurang lebih dua jam kupejamkan mata setelah menyelesaikan gunungan baju setrikaan ampun ibu guru yang akan diambil baisukan. Handphoneku berdering berkali-kali. Badanku yang renta karena keadaan harus perlahan menjangkau handphone yang berada di atas meja kecil di sudut kamar. Kulihat jam menunjukan pukul dua dini hari. Ada beberapa notifikasi panggilan masuk dan puluhan pesan whatsapp. Maklum nomorku bisa dibilang milik banyak orang yang harus standby dua puluh empat jam. Aku tak punya keahlian apa-apa, bermodalkan motor butut peninggalan mantan suamiku, aku menjual jasa ojek rumahan di luar aplikasi modern. Berawal dari rutinitas mengantarkan anak ke sekolah, secara kebetulan bertemu dengan ibu Marunda Tobing. Beliau pegawai polres yang sering kuwalahan antar jemput putranya yang masih kelas satu SD. Sebagai pegawai kantoran, ibu Marunda tentu banyak hal yang perlu dikerjakan di tempat tugas. Itu sebabnya beliau memintaku untuk antar jemput putranya, hingga teman-teman ibu marunda turut serta menyimpan nomorku sebagai nomor darurat untuk memakai jasa ojek dan tenaga serabutan. Deringan telpon berulang kembali, dari arah seberang terdengar suara perempuan yang tidak sabar ingin segera dijemput.
"Cil tolong antarkan ulun ke batas kota. Alamat sudah ulun kirim ke Whatsapp pian. Cepat ya Cil, ulun buru-buru!." Belum sempat kujawab apapun, Wanita itu bergegas menutup teleponnya.
Wanita muda dengan tergesa menaiki motorku. Wajahnya yang tegang tertangkap lampu jalanan. Cahaya itu mengabarkan padaku bahwa dia sedang tidak baik-baik saja.
"Cil, agak cepat ya!."
Tak banyak yang perlu kutanyakan. Hanya saja mataku yang tua ini, menelisik pelangganku di balik spion. Terlihat jelas wanita itu sangat panik. Sesekali ia menengok ke belakang, dan ke samping. Rambutnya terurai sebahu dipermainkan angin malam. Ntah siapakah gerangan yang ia takutkan hingga selarut ini ia harus membawa putri kecilnya keluar dari hotel melati itu.
"Maaf sebelumnya, mbaknya minta antar kemana ya tadi?." Aku meyakinkan wanita itu dengan melirik kearah spion.