Menjadi anak berkebutuhan kusus bagiku bukanlah petaka. Ya mungkin sebagaian orang memandang memiliki anak seperti aku adalah sebuah aib. Tapi tidak dengan ibuku. Ibu memperlakukanku istimewa. Aku sekolah di sekolah luar biasa di kota Batulicin.
Ayahku seorang pelaut. Setiap seminggu sekali atau kadang sebulan sekali kapalnya bersandar di pelabuhan Batang. Seperti anak kebanyakan aku rindu bermain dengan Ayah. Tapi tidak demikian yang kuterima. Ayah belum bisa menerima kehadiranku.
Setiap kali ia pulang aku berusaha mendekatinya, tersenyum padanya, menjabat tangannya. Ah, sudahlah. Yang kuterima sebaliknya, Ayah selalu menampiku menghindariku dengan kata-kata yang kasar.
"Minggir sana, aku capek." Ayah menatapku dengan pandangan tak suka.
Aku yang rindu sosok ayah, ingin sekadar bersenda guarau dan bercerita tentang banyak hal akhirnya harus pupus. Kukemasi semua sedihku, untuk sekadar menitikkan air matapun kutahan. Aku tak ingin ibu sedih dan ayah menghujaniku dengan segala sumpah serapahnya.
Ayahku tergolong temperamen. Sudah lima tahun terakhir Ayah selalu berpindah-pindah lokasi memasok minyak tanah melalui jalur laut. Itu membuat kekhawatiran Ayah terhadap cinta ibu yang pudar. Ayahku dilanda cemburu hebat. Ibu seorang pedagang warung makan di pinggir jalan kabupaten. Dagangannya laris manis. Ibu wanita ramah dan berparas cantik, kulitnya kuning langsat.
Badannya tinggi dengan rambut hitam lurus sebahu. Selain keistimewaan ibu secara fisik, soto ibu tergolong mempunyai citarasa yang khas ayam kampung dengan harga ekonomis. Tak heran jika warungnya setiap saat ramai dikunjungi pegawai pemerintah maupun perusahaan sekitar tempat tinggal kami.
Mungkin lantaran itu, Ayah sering cemburu. Hatinya selalu diracuni curiga dan prasangka yang tak baik terhadap ibu. Terlebih sejak kehamilan ibuku yang ketiga. Yang Sebelumnya melahirkan aku yang tidak sempurna. Ayah semakin tidak menghargai ibu seperti wanita kebanyakan. Setiap saat ibu menjadi korban kekerasan Ayah.
"Tuh kasi tahu anak perempuanmu, dan juga janin yang kau kandung itu. Kamu selingkuhkan! Jangan kasi dia sekolah lagi, kalau kulihat dia masih keluar-keluar rumah, kuhajar kamu. Kamu kasi sekolah dia buat apa!."
"Satu lagi mulai besok warung itu tak ada lagi. Bukankah setiap aku tak ada. Kau selingkuh dengan ustadz itu. Kamu tahu setiap aku pulang, aku selalu mengawasimu dibalik jendela. Kau layani ustadz itu sambil tertawa. Sedangkan kau tak tahu suamimu dibalik jendela sedang menangis. Istrinya sedang melayani laki-laki lain di depan matanya."
"Cukup Bang, aku ini penjual makanan. Bagaimana tidak kulayani para pembeliku. Ustadz Darwin itu tetangga kita. Dia orang baik, bagaimana Abang tega memfitnah berselingkuh dengan aku Bang. Tempo hari saat Abang lihat, dia sedang menunggu jemputan bus karyawan di warung kita sambal makan siang.