Sambal, kata kunci pelengkap makanan yang membuat sebagian orang bikin ketagihan. Pedas sudah pasti. Dibalik pedasnya, sambal akan selalu dicari sebagai pelengkap hidangan di meja makan. Percayakah anda, jika sambal akan berpengaruh terhadap tagihan nasi di bakul?. Ada lele, nila, ayam goreng, tapi sambel tidak ada. Oh, tidak. Tentu akan membuat selera makan berkurang, bukan. Pernahkah anda merasakan demikian?. Semua hanya karena sambal.
Teringat belasan tahun lalu tepatnya bulan Mei tahun 2003 aku menginjakan kaki kali pertama di bumi borneo. Bumi katulistiwa yang sebelumnya hanya kubaca dari pelajaran sekolah pun dari peta dunia. Perjalanan panjang yang kutempuh kala itu sekitar dua puluh jam menggunakan kapal laut dari Surabaya ke Batulicin.
Batulicin daerah yang kukenal saat itu, yang merupakan masih wilayah kabupaten Kotabaru. Jalan-jalan masih terlihat alami, lengang dan masih menggunakan aspal kasar. Ada genangan air hujan di sana-sini membuat pengguna jalan kala itu harus lebih sabar sedikit untuk sekadar menyalip (istilah mendahului) dan berdampingan karena ada beberapa genangan berdiameter kisaran lima bahkan sepuluh senti.
Rumah Acil (sebutan bibi) dari keluarga suami kebetulan terletak tidak jauh dari pelabuhan samudera yakni berseberangan dengan pusat perniagaan bersujud. Pusat niaga yang sekarang lebih dikenal dengan pasar minggu, kala itu belum permanen.
Selain dekat dengan pelabuhan, pasar bersujud letaknya juga strategis yakni bersebelahan dengan terminal angkot jurusan Batulicin-Banjarmasin-Kandangan. Semua masih terlihat alami, seperti mata yang baru saja mengenal kekasih semasa sekolah, semua serba lugu.
Perjalanan yang melelahkan beberapa waktu yang lalu akhirnya terbayar dengan berbagai pesona penduduk sekitar. Aku banyak mengenal berbagai kosa kata baru yang ternyata mempunyai rumpun bahasa dari suku yang berbeda.
Seperti kata Acil, Julak, Daeng, banyu mati, koler, uyuh, bale rako, munasu, dan sebagainya. Kata-kata itu terdengar asing di telingaku karena memang aku terlahir dari suku jawa meskipun lahir di pulau Sumatera. istilahnya pujakesuma kawan-kawan kuliahku memberikan gelar padaku.
Kawin silang budaya membuatku makin tahu banyak tentang warna. Seperti pelangi tak akan indah jika hanya dominan satu corak. Merah, jingga, kuning, hijau, ungu seperti halnya bahasa, kuliner, adat istiadat, kebiasaan dan budaya. Itulah warna yang indah.
Selain bahasa, ada bebrapa kuliner yang menurutku tergolong unik dan menarik. Sebut saja mandai, makanan dari kulit cempedak (tiwadak). Hanya di borneo, saya mendapatkan citarasa kulit makanan yang gurih melebihi daging sapi dan sejenisnya. Mulai dari kulit, daging, hingga biji, cempedak mendapatkan tempat istimewa dihati penduduknya. Beberapa makanan siap menjamu lidah peraciknya mulai dari geguduh tiwadak, oseng mandai udang, dan sambal goreng biji tiwadak. Apakah anda mau mencoba?
Rasanya kurang afdol jika kita berbicara kuliner jika kita meninggalkan satu makanan pendamping yang fenomenal yakni sambal. Seperti yang saya singgung di atas. Ada salah satu sambal yang membuat saya ketagihan di Tanah Bumbu yakni sambal runtu.
Runtu (baca ronto) merupakan olahan dari permentasi udang kecil khas masyarakat Pagatan tepatnya masyarakat suku Bugis yang tinggal di Tanah Bumbu. Udang segar yang dicampur dengan nasi dan sedikit air serta garam didiamkan dalam satu toples tertutup selama satu minggu.