Lihat ke Halaman Asli

Mia Ismed

berproses menjadi apa saja

Puisi | Jejak Kopimu

Diperbarui: 1 Oktober 2019   22:16

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

dokpri

Malam sepekat kopi. Akan kuseduh mesra untukmu. Bukankah kopi yang sudah mempertemukan kita? Di kedai kopi dalam rinai rimis malumalu. Mata kita saling bertukar dalam diam. Tubuh kopi makin semerbak seakan mengamini hati kita yang saling mengagumi. Harihari berikutnya sering kucuri pandang dibalik jendela kedai itu. Kau selalu disana. Sendiri. Ntah siapakah yang kau tunggu.  Apakah kau coba dengar? Kopikopi itu gaduh menyuarakan hatiku yang sepi.

Selamanya kau tetap bayangan kopi. Hitam bersanding dengan cangkir. Di bawah lampu teplok bergantung sepi. Angin mempermainkan asap hitam. Kau pun ikuti lenggoknya. Sampai malam benar-benar pekat dan lampu seperti mata. Sendiri tanpa tidur semalam suntuk. Bayanganmu mengekor sampai pagi.

Malam ini aku akan meminta tidur di matamu. Bukankah kopi sudah merayumu? Mengusir kantuk yang membuatnya cemburu. Aku akan menikmati pupilmu yang mengecil. Dan aku berharap menjadi bintang yang kerlip bersanding dengan bayangan kopi. Aku dan kopi adalah satu wadah. Ingin kau rindui setiap pagi dan menjelang malam. Berharap kantukmu adalah aku. Dan kopi akan sangat bahagia menyaksikan aku pulas di matamu.

Kueja bibirmu di warung-warung kopi. Barangkali bibir kita pernah satu cangkir. Mengatup lama menghirup rindu pada sebuah warna. Hitam adalah pilihan ketika ada pembading putih pada susu. Aku datang ke kotamu hanya untuk menelusuri bibirmu yang tercecer di sendok dan cangkir. Ah ..., aku sungguh cemburu. Sedekat itukah kalian? Sedangkan kita tak.

Aku terus berselancar di gelap malam dengan harapan kau duduk manis di salah satu kedai kopi langganan kita. Hujan pun berhenti sedangkan kopiku masih separuh. Kau bilang ini tanggung. "Ah, kamu!." Kubiarkan kopimu menguasai pikiranku. Hujan sudah mewakili. Menjengukku hari ini.

***   

Kopi hitam manis ini layaknya senyummu yang terus meneror rindu di cangkir keramikku.Top of Form

 Aku semakin menggilaimu seperti kopi. Ingin rasanya kukemasi racunmu. Tanpa jejak. Cukup sajalah menjadi air tawar tanpa hitam. Kopi sudah menjadi karbon yang beku. Tak perlu lagi aku ingat tentang warna krem kopi susu nikmat. Air tawar adalah senyummu tanpa rasa. Sepertinya rasa itu jejak, dan kita tak perlu mencari tapak kaki kita yang hilang. Cukup bumi yang tahu. Merekam jejak kita termasuk cangkir yang pernah singgah di bibir manusia. Bukankah rasa itu hanya soal asumsi? Bahwa garam itu asin, gula itu manis dan asam itu kecut. Pernahkah kita berpikir rasa pahit kopi akan manis ketika bertemu dengan gula? Akan bertambah nikmat ketika bercampur krimer atau susu. Diminum pakai es atau panas. Pakai cangkir atau gelas. Makannya di warung atau saat lesehan di atas tikar. Bersama pacar atau sendirian. Ditemani pisang goreng atau telo godog. Saat hujan atau cuaca gerah. Ah ..., lagi-lagi aku mengkhayal tentangmu.

Pernah suatu hari kau bilang, "Kopi buatan kedai ini hambar dan tak menarik lidah." Lalu kubilang, "Cobalah kau tambah sedikit garam, sayang. Bukankah garam dipercaya sebagai penguat rasa?"

Garam? Aku teringat kata-kataku sendiri. Dan kopiku kali ini benar-benar hambar tak menarik sama sekali seperti kopimu saat itu. Aku baru merasakan rasa itu juga layaknya kopi kadang hambar karena duduk dengan bangku kosong tanpa teman.

***

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline