PROLOG
Sampai kapan pun kepala berdiri tegak. Merdeka dari segala bentuk penjajah. Terbebas dari kotoran dari segala kotoran. Hingga tak membiarkannya menjadikanya kubangan WC. Tempat menampung hasrat taik yang berasal dari rencana-rencana taik, janji-janji taik, muka-muka taik, kata-kata TAIK.
Dan pada akhirnya. Merayakan pesta taik dengan satu kata "LEDAKKAN!". Kepala itu muntah meledakan cip-cip, kepingan-kepingan dengan gaungan taik. Menggelegar hingga sang pemilik menyaksikan jasadnya dikerumuni taik-taik. Tangisan taik, kehilangan taik, keramaian taik, air mata yang berasal dari mata taik. Bukankah kepala itu sudah lama mereka isi dengan kotoran-kotoran. Kepala itu sekarang WC yang meledak. Menumpahkan taik dari segala macam taik. Dengan ledakan kedua yang menggelegar, kau bilang "GILA!". "Dasar Taik!".
Babak 1
Ibram duduk di sebuah kursi kayu. Matanya melotot tubuhnya mengering dengan rambut lusuh tak beraturan. Kaus bergaris-garis menambah kontras mukanya. Terdengar suaranya menggelegar. Ruangan itu seakan disulap bak kolosium. Menyaksikan pacuan tanduk kepalanya yang makin bergairah memperlihatkan tonjolannya.
Ibram : "Setiap aku menonton televisi, membaca surat kabar, mendengarkan radio dan menggunakan handphone. Di kepalaku seakan teronggok taik. Taik itulah yang menyebabkan kepalaku tumbuh dan bertanduk."
Berdiri kemudian duduk dengan posisi jongkok. Diremasnya rambut yang ikal memanjang itu.
"Aku berusaha mengeliminasi nama-nama itu agar tak disebutkan, tapi dimana pun aku berada nama-nama itu selalu ada. Nama-nama itu gentayangan, seperti roh-roh penasaran. Banyak manusia mengambil nama itu sebagai jimat, untuk menghalalkan apa yang mereka inginkan."
"Aku muak!."
Ibram berdiri kembali, tangannya mengacak pinggang sesekali memegangi kepalanya
"Kepalaku dijadikan WC untuk menampung nama-nama itu. Aku tak mau hal itu terus berlanjut. Kepalaku bukan WC yang bisa menampung apa saja."