Lihat ke Halaman Asli

Mia Ismed

berproses menjadi apa saja

Surga itu Dekat

Diperbarui: 1 Juli 2016   21:41

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

“Hei anak pemulung, jangan dekat-dekat bau tau haha, coba lihat sepatunya bekas dimakan ulat berlubang-lubang “ ledek segerombolan teman-temanku saat aku melintasi mereka yang sedang duduk di bawah pohon perdu ketika istirahat.

Ingin rasanya aku lari dan marah dengan Ibuku. Aku sangat malu lahir dari seorang anak pemulung yang miskin dan kumuh. Seragam putih merahku pun tak secemerlang anak-anak yang lain. Sudah dua tahun sejak kelas tiga baju dan celanaku belum berganti. Apalagi sepatuku tampak lubang kesana-sini. Sering Ibuku mendapatkan hasil memulung sepatu bekas yang sudah dibuang pemiliknyadi tong sampah. Juga tas bergambar kartun yang sudah mulai kabur warnanya dipungutnya sisa-sisa sampah orang kompleks.

Hidup di ibu kota ini sangat keras. Mencari makan sesuap nasipun Ibuku harus mengais rejeki di tempat-tempat yang bagi orang-orang pada umumnya menjijikan. Dipungutnya sampah-sampah plastik bekas minuman anak-anak sekolah. Juga botol-botol bekas sampah rumah tangga yang ada di kompleks perumahan yang tak jauh dari tempat tinggalku. Saat ini aku sudah kelas empat SD Sari Mulia. Meski aku anak pemulung tapi Ibu tetap ingin aku sekolah. Bapakku sakit-sakitan. Bapak hanya mampu memulung sesekali saja. Asmanya selalu kambuh, itu sebabnya Ibu tak mengijinkan Bapakku bekerja terlalu capek. Ibuku tak pernah meninggalkan solat lima waktu. Setiap Ibu keliling mencari plastik bekas minuman dengan membawa gerobak dorong. Tak pernah tertinggal bungkusan plastik hitam berisi mukena.

Entah mengapa semakin hari teman-temanku semakin berani mencaciku. Bahkan mereka tak segan melempariku dengan bekas makanan di kantin. Aku hanya diam dan berlalu. Tak ada yang mau berteman denganku. Semua tampak jijik dan malu mempunyai teman seperti aku. Hingga suatu hari Ibuku melewati sekolahku dengan gerobak dorongnya waktu istirahat ke dua. Ibu melihatku dari kejauhan. Hari itu aku harus menebus seragam olahraga. Ibu berjanji hari ini akan memberiku uang. Karena tadi pagi Ibu belum menjual plastik-plastik itu ditempat juragan plastik. Terpaksa Ibu harus menunggu juragan datang. Ibu pun menghampiriku dengan wajah penuh peluh. Ia seka dengan jilbab kaus yang sudah kelihatan lecek karena usang. Beberapa lembaran uang ribuan tergulung karet gelang, Ibu menyodorkan uang itu.

“Ini Nak uangnya, cepat kamu bayarkan untuk membeli kaus seragam sekolahmu”. “Jangan lupa jika ada sisa uangnya ditabung ya” suaranya lembut dengan tatapan sayang.

Ntah kenapa aku tak ingin Ibuku berlama-lama berada disini. Aku takut teman-temanku melihatnya. Belum selesai kuberkecamuk dalam pikiran antara was-was takut ketahuan. Suara teman-temanku sudah menghardikku dari kejauhan.

“Oii lihat pemulung itu mau masuk ke sekolah kita hahah”.”Ih pasti uangnya itu sangat kotor” suara itu semakin menghujam keras hati dan pikiranku.

“Cepat pergi Bu, aku gak mau melihat Ibu disini. Aku malu Bu!” seketika kubentak Ibuku dengan suara keras-keras.

Ibu pun melangkah pergi. Tampak diraut mukanya rasa kecewa dan sedih. Tapi tak kuhiraukan. Aku lebih sedih setiap saat dihina teman-temanku.

***

Malam itu sangat gelap, kulihat dikejauhan sana bintang-bintang kecil berkerlip menghiasi langit di atas atap seng tua yang berdindingkan kardus dan spanduk bekas. Di bawah lampu minyak Ibu senantisa melantunkan suara merdu alquran dengan mushaf yang sudah kuning tak bersampul. Bapak terbaring disebelahnya. Sedangkan aku duduk membaca buku-buku sekolah sesekali memandang bintang-bintang itu.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline