Lihat ke Halaman Asli

Pilkada dan Pancasila

Diperbarui: 18 Juni 2015   01:18

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pancasila telah memilih kedaulatan rakyat bukanlah perdebatan, akan tetapi ketika kita menilik penerapannya muncul tafsiran-tafsiran baru sejak "dimulainya zaman reformasi". Kini menjadi ramai kembali dengan adanya wacana pemilihan Kepala Daerah oleh DPRD.
Sumber perdebatan lahir dari ragam penafsiran sila keempat Pancasila "Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan". Bagian yang paling diributkan adalah makna "dalam permusyawaratan/perwakilan", sementara bagian utamanya yaitu "dipimpin oleh hikmah kebijaksaaan" sepertinya terabaikan. Masing-masing mementingkan kelompok atau strategi memenangkan kekuasaan, bukan kebijaksanaan yang sebenanya dimaksudkan sebagai "usaha mencari hal terbaik bagi bangsa dan negara". Mari kita simak beberapa penafsiran penting dai permusyawaratan/perwakilan" dengan harapan dapat melihat secara obyektif pilihan-pilihan mana saja yang masih sesuai dengan Jiwa Pancasila.
Arti Permusyawaratan:
Pada zaman Orde Baru, permusyawaratan ditafsirkan sebagai:
- Seluruh keputusan ditentukan melalui musyawarah
- "Voting" merupakan jalan terakhir ketika musyawarah tidak mencapai kesepakatan.
Pada zaman Reformasi, "voting" cenderung dikedepankan. Hasilnya pun tidak selalu sesuai harapan karena sangat bergantung pada kualitas "niat dan kemampuan" legislatif yang bayak diragukan.
Pengertian yang disosialisasikan pada zaman Orde Baru di atas sebenarnya sejalan dengan Jiwa Pancasila akan tetapi pada prakteknya tidak memberikan hasil yang diharapkan, yaitu cenderung menyetujui semua keputusan yang dikehendaki "pemerintah" (baca eksekutif).
Hal tersebut terjadi karena "kepiawaian Pak Harto" dalam memanfaatkan celah psikologis:
- Mempropagandakan "beda pendapat dengan mayoritas" (dissinsenting opinion) sebagai prilaku yang a-sosial atau tidak pantas dan tentu mengandung ancaman konsekuensi yang cukup berat.
- Memanfaatkan pengaruhnya untuk mengendalikan proses sehingga mayoritas yang duduk i legislatif adalah "pendukung pemerintah"
- Membentuk Golkar yang berperan sebagai partai politik tapi dikelola melekat dengan birokasi sehingga tingkat keterkendaliannya cukup tinggi.
Melalui pemahaman sebagaimana di atas dan dengan mempertimbangkan realitas saya menyimpulkan:
- Benar bahwa permusyawaratan perlu dikedepankan akan tetapi "voting" perlu pula dipertimbangkan karena lebih efektif untuk banyak kasus. Pancasila tidak anti "voting" tapi menganjurkan musyawarah sebagai pilihan bijaksana sepanjang memungkinkan. "Keputusan voting mestinya dihasilkan dari proses musyawarah".
- Musyawarah dan "voting" perlu dilaksanakan secara transparan sehingga rakyat mudah menilai.
- Menggantikan musyawarah dengan "voting" secara keseluruhan seperti membunuh lalat dengan bom. Mengapa tidak fokus pada identifikasi permasalahan dan perbaikan atau antisipasinya?
Arti Perwakilan:
UUD 45 mencontohkan bahwa anggota DPR merupakan wakil-wakil rakyat yang dipilih secara demokratis dan lembaga tertinggi adalah MPR yang merupakan anggota DPR ditambah dengan "anggota tambahan".
Landasan pemikiran UUD 45 adalah:
- DPR sebagai wakil parrtai tentunya mempunyai kepentingan-kepentingan partai atau golongan yang belum tentu sejalan dengan kepentingan bangsa dan negara, atau paling tidak dapat menghambat kemajuan bangsa dan negara meskipun dipilih langsung oleh rakyat.
- Dapat saja terjadi kondisi-kondisi tertentu yang mengakibatkan DPR kurang dapat dipercaya (less legitimation).
- Mempertimbangkan dua hal di atas diperlukan "anggota tambahan" yang dapat dipercaya mampu menjaga keputusan-keputusan MPR memihak kepentingan bangsa dan negara.
Jika hal di atas sampai dengan saat ini tidak memuaskan harapan kita, permasalahannya sebenanya bukan pada landasan pemikira UUD 45 dimaksud, melainkan pada belum sempurnanya undang-undang dan mekanisme untuk menyeleksi siapa saja yang behak menjadi "anggota tambahan" di MPR.
Perlu kita catat bahwa daerah tidak memiliki lembaga di atas DPRD yang berfungsi seperti MPR. Sebagai konsekuansinya "DPRD tidak dapat dikiaskan begitu saja dengan DPR".
Kita masih lemah dalam mengembangkan mekanisme penyaringan kepribadian sebagaimana tampak dalam kasus menteri yang menjadi pasien KPK, bahkan Hakim Mahkaman Konstitusi yang mengakhiri karir d penjara.
Kelemahan-kelemahan tersebut membuat kita perlu mencari alternatif terbaik dengan menengok berbagai model implementasi demokrasi dan tetap mempertimbangkan Pancasila.
Reformasi telah menentukan "pemilihan langsung Kepala Daerah"  sebagai alternatif terbaik - setidaknya untuk saat ini. Jika kita kaji alasan-alasannya, dapat kita simpulkan landasan utamanya adalah:
- Semua (saat itu) menyadari bahwa suara mayoritas yang akan dihasilkan oleh pemiliha umum atau voting "tidak selalu benar dan tidak selalu tepat". Itu pula salah satu pertimbagan pilihan Pancasila yag mengedepankan musyawarah.
- Asumsi demokrasi bahwa "manusia cenderung baik", maka pilihan umum banyak manusia adalah baik, apalagi jika itu berkenaan dengan dirinya, kiranya akan mengoreksi "penyakit yang masih tampak di legislatif dan eksekutif".
- Penunjukkan oleh Presiden, walau tak melanggar UUD 45:
- akan berbahaya ketika memperoleh presiden yang cenderung otoriter.
- pemerintah pusat tidak mungkin dapat menangkap aspirasi dan kondisi-kondisi spesifik Indonesia yang ragam budaya dan luas wilayahnya sangat luas.
- integrasi kebijakan pusat lebih terjamin dan mendukung efektifitas pilihan "kabinet presidentil".
- mekanisme penunjukkan perlu dikembangkan sedemikian rupa sehinga mudah dipantau masyarakat (transparan)
- Peluang "transaksi" antara kandidat dengan anggota birokrat cukup besar.
- Tuntutan tanggung-jawab terhadap rakyat (di daerah) berkurang.
- Penunjukkan oleh DPRD:
- Kualitas Kepala Daerah sangat bergantung pada kualitas DPRD.
- Kebijakan pusat dapat ditolak/dihambat .
- Mekanisme penunjukkan perlu dikembangkan sedemikian rupa sehinga mudah dipantau masyarakat
- Peluang "transaksi" antara kandidat dengan anggota DPRD cukup besar.
- Tuntutan tanggung-jawab terhadap rakyat (di daerah) berkurang.
- Pemilihan Langsung:
- Kualitas sangat bergantung pada kaderisasi dan mekanisme seleksi partai yang mendukungnya.
- Kebijakan pusat dapat ditolak/dihambat .
- DPRD dapat fokus memerankan fungsi pemantauan/
- Tuntutan tanggung-jawab terhadap rakyat sangat besar.
Media akhir-akhir ini mengungkapkan alasan wacana pemilihan kepala daerah oleh DPRD mengkristal pada: biaya penyelenggaraan, banyaknya kepala daerah yang terlibat korupsi, kesesuaian dengan Pancasila dan UUD 45.
Jika kita amati, sebagian besar alasan-alasan itu sebenarnya risiko proses pemilihan langsung yang dapat dikendalikan, dengan demikian perbaikan proseslah yang diperlukan. We want to learn or change the concept every after a fail?!
Kini terserah anda, karena bagi saya pilihannya jelas. Silahkan anda ajukan komparasi anda dari pada terjerumus pro-kontra yang tidak produktif. Kalau mau diubah mestinya via referendum karena rakyat sudah pernah diberi kesempatan memilih langsung.
Berpolitiklah dengan bermartabat yaitu mendahulukan kepentingan bangsa dan negara (untuk rakyat).
Berpolitiklah dengan bermartabat yaitu dengan cara yang diridlai Tuhan sesuai kepercayaan masing-masing.
Rakyat tidak bodoh dan sejarah akan membuktikan kebersihan niat anda... Amin.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline