Pedasnya makanan-makanan Indonesia telah menjadi julukan yang seringkali muncul dari berbagai kalangan baik di dalam negeri maupun mancanegara. Cabai tidak lagi menjadi salah satu bahan makanan tambahan, justru mendapatkan julukan sebagai syarat mutlak dari terciptanya makanan-makanan Indonesia.
Akhir-akhir ini, masyarakat Indonesia seringkali dikejutkan dengan langkanya pasokan Cabai di pasaran, harga cabai mengalami pelonjakan 10 kali lipat, mencapai Rp.200.000/kg. Hal ini sontak menimbulkan kegelisahan masyarakat dalam melakukan pemenuhan kebutuhan akan cabai. Terlebih bagi para pedagang makanan kaki lima yang bergantung pada kestabilan pasokan kebutuhan makanan, melambungnya harga cabai menjadi momok yang seringkali menyebabkan kerugian.
Menurut beberapa penelitian yang dilakukan oleh lembaga peneliti nasional, melonjaknya harga cabai disebabkan oleh langkanya cabai. Para petani acap kali mengalami gagal panen akibat hama yang menyerang tanaman cabai. Adanya keterbatasan yang ada, menyebabkan petani menangani permasalahan tersebut hanya dengan menggunakan pestisida, yang justru menambahkan masalah.
Penyemprotan pestisida, terlebih pestisida sintetis yang sering digunakan pada tanaman cabai justru membahayakan. Apabila pestisida terus digunakan pada tanaman, hama pada tanaman cabai pun lama kelamaan juga akan kebal, sehingga penggunaan pestisida bisa dibilang tidak memberikan dampak yang signifikan bagi adanya kelangkaan pasokan cabai, justru menyebabkan timbulnya permasalahan kesehatan.
Namun kini masyarakat tidak perlu lagi khawatir akan hama yang menyerang tanaman cabai yang menyebabkan melonjaknya harga cabai. Sekelompok mahasiswa dari Fakultas Teknik Pertanian Universitas Padjadjaran (Maharani Listiafitri, Miftah Farid, dan Ramdan Septiawan) telah menemukan suatu cara untuk menangani hama yang menyerang tanaman cabai tanpa menggunakan bahan kimia yang membahayakan.
Sekelompok mahasiswa tersebut menciptakan inovasi rancang bangun Aph-Trap. Aph-Trap merupakan inovasi teknologi tepat guna pertanian yang ditujukan sebagai alat perangkap kutu daun cabai dengan memanfaatkan sifat kutu daun yang tertarik pada warna cerah. Aph-Trap memanfaatkan warna optik dengan frekuensi sesuai untuk menarik kutu daun, menghisap dengan daya vakum, dan membasmi hama tersebut dengan sengatan yang hanya membutuhkan daya sebesar 12 Volt.
Inovasi ini telah didukung oleh Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Republik Indonesia (Kemenristekdikti) melalui Program Kreativitas Mahasiswa. Mulai dari April 2018, Kemenristekdikti telah menyumbangkan dana dan memantau penelitian dan perkembangan Aph-Trap untuk diluncurkan Juli 2018 mendatang.
"Konsep Aph-trap telah diketahui oleh Kemenristekdikti dan dipercaya untuk dikembangkan demi menghasilkan kebermanfaatan bagi masyarakat. Secara etimologis, Aph-Trap berarti Aphid-Trap atau perangkap hama serangga. Bodi Aph-Trap dirancang berwarna kuning sebagai atraktan fisik dari aspek warna optik yang menarik kutu daun. Hal ini akan membantu prinsip kerja utama Aph-Trap yaitu menghisap kutu daun yang biasanya ada di bawah daun dan membasminya dengan fitur setrum di dalamnya." jelas Maharani.
Dengan digunakannya Aph-Trap, kelangkaan pasokan cabai dapat ditekan, melonjaknya harga cabai dapat dikontrol dan hasil tanaman cabai yang akan dikonsumsi oleh masyarakat menjadi sehat dan berkualitas.