Kendari, Sulawesi Tenggara - Penurunan luas kawasan hutan tidak terlepas dari tingginya intensitas pembangunan baik nasional maupun daerah.
Program pembangunan nasional diantaranya bidang pertambangan, perkebunan (sawit), dan pertanian (food estate).
Kegiatan tersebut menyebabkan terjadinya alih fungsi hutan yang berdampak terhadap hilangnya keanekagaman hayati, mata pencaharian masyarakat sekitar hutan, manfaat jasa lingkungan, dan penyebab bencana alam (longsor, banjir, pencemaran udara dsb.).
Komisi Pemberantasan Korupsi (2016) melaporkan, luas hutan konservasi yang menjadi kawasan pertambangan sekitar 4,9 juta hektar, dan hutan lindung yang menjadi kawasan pertambangan sekitar 1,3 juta hektar.
Salah satu upaya untuk mengendalikan penurunan luas kawasan hutan adalah dengan menggulirkan program perhutanan sosial (PS).
Program ini diharapkan mampu memperbaiki sistem tata kelola hutan dengan memberikan peluang dan kesempatan terhadap masyarakat untuk mengelola sumber daya di sekitarnya.
Perhutanan sosial bertujuan untuk menyelesaikan persoalan tenurial dengan memberikan akses legalitas pengelolaan hutan kepada masyarakat, meningkatkan kualitas kesejahteraan masyarakat dengan memberikan akses dan peningkatan kapasitas masyarakat dalam pengelolaan sumber daya hutan, serta menjaga kelestarian ekosistem hutan.
Modal Sosial dalam Pengelolaan Hutan
Konsep modal sosial (Social capital) merupakan instrumen penting dalam mendorong individu atau kelompok untuk bekerja sama dan berkolaborasi.
Dalam konteks pengelolaan hutan, modal sosial menjadi bagian penting dalam membangun tata kelola kehutanan yang efektif dan efisien. Dengan kata lain, modal sosial sangat penting dalam mendorong pengembangan partisipasi masyarakat.
Modal sosial meliputi, kepercayaan (trust), norma (norms), dan jaringan (networks). Menurut Widjanarko (2016), kepercayaan merupakan suatu nilai kepercayaan antara hubungan antar individu tanpa rasa saling curiga, toleran, saling menghormati.