Lihat ke Halaman Asli

MUHAMMAD REZA SETIAWAN

forester I practitioners I learners I reader I traveller I adventurer !

Implementasi Hak Atas Properti dalam Pengelolaan Kawasan Hutan

Diperbarui: 15 Oktober 2022   10:29

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Alif Fungsi Kawasan Hutan (Dok. Pribadi)

"Aturan main atau norma merupakan pengaturan hubungan antar manusia untuk menghambat munculnya perilaku oportunistik dan saling merugikan, sehingga perilaku manusia dalam memaksimumkan kesejahteraan individualnya lebih dapat diprediksi" - Kasper & Streit (1998).

Bogor, Jawa Barat - Penggunaan kawasan Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN) Provinsi Riau dalam bentuk kebun sawit merupakan fenomena kegagalan institusional di sektor kehutanan. Kegagalan dimaksud yakni ketiadaan aturan main atau norma-norma setempat menyebabkan kelompok masyarakat dengan mudah mengakses dan merambah kawasan negara. Fakta lapangan menunjukkan, hampir seluruh wilayah kawasan TN Tesso Nilo telah dikuasai oleh perambah dan ditanami kelapa sawit.

Pengawasan dan pemberian sanksi yang harapannya berjalan sebagai aturan main dan batasan dalam mengatur perilaku manusia, namun nyatanya tidak berjalan demikian. Penegakkan hukum yang lemah menyebabkan masyarakat dengan mudah merambah kawasan TN Tesso Nilo. Setidaknya teridentifikasi 150 area kepemilikan sawit, sebanyak 64 area kepemilikan sawit di eks HPH PT HSL dan sebanyak 36 area kepemilikan sawit di konsesi eks PT SRT di dalam TN Tesso Nilo. Diprediksi luasan hutan tersisa hanya ± 23.000 ha, sedangkan luas perambahan sekitar ± 58.000 ha, dan luas wilayah yang ditanami sawit berkisar ± 33.000 ha (Kartodihardjo 2021).

Dalam konteks hak atas properti (property rights), hak atas properti mengandung norma-norma dan aturan main pemanfaatannya dan merupakan alat pengatur hubungan antar individu (North 1990). Konsep hak atas properti memiliki implikasi terhadap konsep hak (rights) dan kewajiban (obligations) yang diatur oleh hukum, adat, dan tradisi atau konsensus yang mengatur hubungan antar anggota masyarakat dalam hal kepentingannya terhadap sumberdaya, serta memperoleh hak seperti pembelian, pemberian dan hadiah atau melalui pengaturan administrasi pemerintahan. Setidaknya ada beberapa kumpulan hak (bundle of rights) yang melekat didalamnya, yaitu: (1) hak memasuki (access), (2) hak memperoleh/mengambil manfaat (withdrawal), (3) hak mengelola (management), (4) hak mengeluarkan/mengeculikan pihak yang tidak berhak/lain (exclusion), dan (5) hak memindah-tangankan (alienation) (Nugroho 2021).

Hak Atas Properti (Property Rights)

Secara arti, hak atas properti (property rights) didefinisikan sebagai hak yang dimiliki setiap individu, masyarakat, negara atas suatu sumberdaya untuk mengelola, memperoleh manfaat, memindah tangankan, bahkan untuk merusaknya. Hak atas properti mengatur segala perilaku manusia, institusi (formal/non formal) dan sumber daya hutan di dalam memanfaatkannya. Keberadaan hak atas properti juga mengatur kinerja pemerintah dan perilaku manusia untuk meminimalisir dampak kerusakan sekaligus memastikan penegakkan keadilan. Ketidakpastian hak atas properti (property rights) mempengaruhi perilaku individu untuk melakukan kegiatan perambahan.

Terdapat bentuk-bentuk pengaturan kelembagaan (property regime) yang bervariasi dan dapat diimplementasikan untuk mengatur pemanfaatan kawasan hutan negara, seperti (1) milik pribadi (private property), (2) milik negara (state property), (3) milik komunal-adat. ulayat, dll. (communal property), (4) milik umum (public property), (5) tidak berpemilik (open access or nobody-property), namun masing-masing property regime tersebut memiliki kelebihan dan kekurangan. Disamping itu, terdapat syarat untuk mencapai kesempurnaan hak atas properti yakni: (1) dapat diperjual belikan (tradable), (2) dapat dipindah tangankan (transferable), (3) dapat mengeluarkan pihak yang tidak berhak (excludable), dan (4) dapat ditegakkan hak-haknya (enforceable).

Tak hanya itu, faktor yang perlu dipertimbangkan dalam penetapan hak atas properti (Eggertsson 1990) diantaranya: (1) penerima hak dapat menginternalisasikan biaya dan manfaat dari kegiatannya, (2) hak terdefinisi dengan jelas, pasti dan segala persengkataan dapat diselesaikan dengan biaya yang murah, (3) kepastian hak mendorong seseorang untuk meningkatkan sediaan (stock) barang modalnya, (4) struktur hak dapat menekan biaya pengukuran manfaat dan biaya transaksi, dan (5) negara dapat menjamin kepemilikan hak.

Berdasarkan uraian singkat di atas, ketidakpastian hak atas properti (property rights) menyebabkan masyarakat cenderung melakukan kegiatan sesuai dengan yang diinginkan, merambah dan menanam sawit. Merubah fungsi kawasan tanpa memikirkan dampak ekosistem sumber daya hutan dan sejauhmana perannya di masa mendatang untuk tujuan jangka pendek. Selain itu, masyarakat tidak memiliki kepedulian terhadap hutan karena tidak merasa memiliki dan bertanggungjawab. Oleh sebab itu, kepastian hak atas properti dapat memastikan siapa yang bertanggungjawab dan penanggung resiko (masyarakat). Untuk itu, kepastian hak atas properti (property rights) dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya hutan menjadi penting untuk memastikan berjalannya aturan dan norma dalam penggunaan kawasan.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline