Lihat ke Halaman Asli

Muhammad Hidayatullah

Mahasiswa S2 MAP Unsri, Aparatur Sipil Negara

Petugas Kebersihan

Diperbarui: 7 Oktober 2024   08:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pagi itu terasa begitu hening. Saya dijadwalkan menaiki pesawat pukul 6 pagi dari Jakarta menuju Palembang untuk menghadiri perkuliahan yang dimulai pada pukul 8. Waktu yang sangat sempit membuat saya harus bergegas. Setibanya di bandara, seperti orang kebanyakan, saya langsung menuju toilet untuk bersiap-siap. Di sanalah, saya disambut oleh seorang petugas kebersihan yang menebarkan senyum tulus dan mengucapkan, "Selamat pagi, Bapak." Tanpa berpikir panjang, saya membalas senyum itu. Namun, ada sesuatu dalam hati saya yang bergetar.

Bayangkan, di tengah rutinitas yang mungkin bagi banyak orang terasa monoton dan tanpa variasi, petugas kebersihan ini mampu menyambut hari dengan senyum seikhlas itu. Pekerjaannya, yang tak jarang dianggap remeh, justru dijalani dengan penuh ketulusan. Sementara itu, di sisi lain, kita yang bekerja di ruangan ber-AC, duduk di meja nyaman, bahkan sesekali bepergian dinas ke berbagai kota, masih saja sering mengeluh. Rasa lelah selalu menjadi alasan untuk menumpuk keluh kesah, seolah-olah pekerjaan kita yang lebih "bergengsi" layak membuat kita merasa lebih berat memikul beban.

Pagi itu, saya tersadar, ada yang salah dengan cara pandang saya. Kehidupan di luar sana ternyata jauh lebih kompleks dan penuh tantangan. Ada banyak orang yang hidupnya tidak semudah kita, tetapi mereka mampu menjalani setiap hari tanpa keluhan, tanpa hiruk-pikuk rasa tidak puas. Di balik senyum petugas kebersihan itu, saya melihat cerminan ketulusan yang jarang saya temukan dalam kehidupan sehari-hari. Betapa sering kita terjebak dalam rasa tidak bersyukur, selalu merasa kurang, padahal banyak hal yang patut kita syukuri. Hidup kita mungkin lebih mudah dalam banyak aspek, namun ironisnya, seringkali kita merasa lebih sulit dibanding mereka yang berada dalam posisi yang lebih menantang.

Perlahan-lahan, saya mulai merenungi kembali makna kebahagiaan. Kebahagiaan ternyata bukan soal seberapa ringan beban yang kita tanggung, melainkan seberapa ikhlas kita dalam menjalaninya. Mereka yang menjalani hidup dalam keterbatasan justru sering kali lebih mampu merasakan ketenangan, ketimbang kita yang hidupnya diliputi kenyamanan. Orang-orang sederhana, yang kita pikir memiliki hidup yang berat, justru mampu mengajarkan kita tentang arti syukur yang sesungguhnya.

Dari senyum ikhlas seorang petugas kebersihan di bandara itu, saya belajar sesuatu yang sangat berharga. Hidup ini tidak selalu tentang meraih pencapaian besar atau menempuh jalan yang mulus. Kadang, dalam kesederhanaan dan keterbatasan, kita justru menemukan ketenangan yang sejati. Kita diajak untuk melihat ke dalam diri, untuk mengikis rasa kurang yang sering kali menjadi sumber kegelisahan.

Kehidupan mengajarkan bahwa kebahagiaan tidak diukur dari seberapa nyaman kondisi kita, tetapi dari bagaimana kita menerima dan mensyukuri setiap momen yang datang. Terkadang, kebijaksanaan datang dari tempat yang tidak terduga, dan seringkali, orang-orang yang kita pikir tidak memiliki banyak hal justru mengajarkan kita makna hidup yang paling mendalam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline