Diawal masa Reformasi tepatnya tahun 2000, istana negara jakarta didatangi oleh para guru-guru dari seluruh penjuru Indonesia dalam jumlah besar. Mereka datang bukan untuk menyelenggarakan Proses Belajar Mengajar (PBM) yang setiap hari mereka jalankan di kelas atau lingkungan sekolah. Tetapi mereka datang untuk menyampaikan penderitaan mereka sebagai guru karena merasa belum disejahterakan oleh negara.
Para pendidik ini berniat untuk menyampaikan keluh kesah mereka langsung kepada presiden Gus Dur yang kala itu menjabat. Tercatat tuntutan aksi masa pada masa itu yang paling utama adalah kenaikan honor guru.
Tapi sang presiden sayangnya tidak berkenan menerima ataupun berdialog dengan para masa aksi yang telah hadir jauh-jauh dari seantero Indonesia raya tersebut.
Demo didepan istana tersebut hanya disambut oleh para aparat yang segera membuat pagar betis secara ketat. Karena hanya disambut oleh aparat dan harus berhadapan dengan pagar betis ketat, akhirnya ribuan guru yang tegabung dalam masa aksi tersebut harus minggat. Mangkat pulang kerumah masing-masing untuk mengakhiri aksi.
Seakan terulang kembali, pada tahun 2018 silam. Demo guru kembali terjadi didepan istana, kali ini masa aksi merupakan guru-guru honorer yang tuntutannya tidak jauh-jauh juga dari demo guru sebelumnya, yakni peningkatan kesejahteraan dengan tuntutan kenaikan gaji, serta mengangkat guru-guru honorer tersebut menjadi Pegawai Negri Sipil (PNS). hasilnya sendiri aksi tersebut berakhir tanpa jawaban. Sang guru pun membubarkan diri tanpa "paksaan" dalam suasana terpaksa.
Jadi, apa kesamaan dari aksi guru yang berlangsung pada zaman Gus Dur dan Zaman Joko widodo ini? Kesamaannya adalah guru-guru ini sama-sama dicuekin.
Gus Dur tidak berkenan untuk menemui masa aksi, pun begitu dengan Jokowi. Tidak menanggapi pertanyaan dari para jurnalis yang bertanya tentang tanggapan nya (jokowi) terhadap aksi yang dilakukan oleh guru-guru honorer tersebut seperti yang dilansir dari cnnindonesia.com.
"padahal presiden masih menjawab saat ditanya mengenai kegiatannya hari ini, tetapi hanya tersenyum dan pergi ketika ditanya soal tanggapannya mengenai demo guru honorer yang berlangsung".
Entah suara para masa aksi kurang keras hingga tidak sampai terdengar kedalam istana, ataupun memang presiden pada waktu aksi berlangsung tidak mengetahui ada aksi unjuk rasa oleh para guru honorer tersebut.
Menjelang PEMILU 2019 Joko widodo tiba-tiba terkejut terheran-heran setelah mengetahui pada masa pemerintahannya, masih ada guru honorer yang bergaji 350 Ribu rupiah. Kekagetan Presiden sempat menjadi kehebohan di media-media.
nah, akhirnya dewasa ini. Akhirnya pemerintahan Jokowi meiliki solusi yang sangat inovatif dan mengguah kesadaran. Ini tidak terlepas dari keputusan brilian presiden menempatkan Muhadjir Effendy sebagai mentri pendidikan Indonesia.