[caption caption="Ilustrasi: Kompas - Hendra A. Setiawan"][/caption]Kemarin kita baru saja dihebohkan dengan peristiwa demonstrasi supir taksi reguler atas menjamurnya bisnis taksi online. Sweeping yang berujung pada tindakan anarkis menjadi tontonan menarik di tengah acara TV yang semakin tidak berkualitas. Kejadian ini dipicu terutama oleh berkurangnya isi kantong supir taksi reguler setelah munculnya taksi online, ada yang bilang 60%, ada yang bilang 40%, padahal ada juga yang bilang tidak berkurang.
Kejadian ini sebenarnya bukan kejadian yang tidak bisa diprediksikan. Konflik taksi online dan reguler sudah terjadi di banyak negara yang lebih dulu disambangi taksi online. Di Indonesia sendiri sebenarnya percikan-percikan api sudah muncul dari awal beroperasinya taksi online di Jakarta. Masalah persaingan bisnis, regulasi, dll sudah menjadi topik yang selalu disinggung saat taksi online ini mulai beroperasi. Konflik ini bahkan terjadi internal eksekutif pemerintah sendiri, tentu kita masih ingat dengan drama pelarangan ojek online yang langsung dianulir kurang dari 24 jam.
Setelah kejadian ini, respon dari masyarakat pun bermunculan. Tapi yang saya lihat sebagian besar masyarakat cenderung mendukung taksi online. Menurut saya hal ini sangat wajar, karena di tengah semakin tingginya biaya hidup di kota Jakarta, harga murah yang di tawarkan oleh taksi online menjadi penyelamat bagi sebagian besar masyarakat (termasuk saya).
Respon juga muncul tidak hanya dari masyarakat awam. Ahli sekelas Rhenald Kasali pun ikut berkomentar, dan isinya sama, cenderung mendukung taksi online dan melihat ini sebagai fenomena perubahan teknologi yang tidak bisa dibendung. Banyak juga tulisan yang membandingkan kejadian tergesernya dokar dengan bemo, bego dengan taksi, taksi tidak berargo dengan taksi berargo, toko offline dengan toko online.
Walaupun saya adalah penikmat taksi online, izinkan saya berpendapat senetral mungkin.
Absennya Peran Pemerintah
Saya berpendapat kejadian ini terjadi terutama karena absennya peran pemerintah. Ya memang benar bahwa taksi online adalah bentuk perubahan model bisnis atas penerapan teknologi dan ide yang sangat baik, dan saya sangat mengapresiasi hal tersebut. Tapi, saya melihat peran pemerintah untuk memberikan keadilan di usaha ini belum berjalan. Seperti saya tulis di atas, bahwa kejadian ini bukannya tidak dapat diprediksi. Kejadian di negara lain tentu bisa dijadikan pembelajaran yang baik. Lambatnya peran pemerintah dan malah justru cenderung mendukung salah satu pihak menyebabkan kejadian yang berdampak buruk kemarin.
Mungkin ada yang berpendapat, "Taksi reguler aja yang ga mau berubah, ini kan perkembangan teknologi, bla bla bla." Oke, kalau anda bilang ini adalah perubahan teknologi, sebenarnya ada perusahaan taksi reguler pun sudah memiliki aplikasi booking, bahkan aplikasi Grab Taxi pun sudah menjadi aplikasi yang digunakan oleh perusahaan taksi reguler. jadi anggapan bahwa perusahaan taksi tidak melek teknologi menurut saya tidak tepat.
Dari hipotesis di atas, pendorong utama masyarakat menggunakan taksi online adalah harganya yang murah, bukan karena teknologi yang andal. Kalau begitu mari kita lihat kenapa mereka bisa murah.
Saya pernah membaca ada yang menganalogikan dengan low cost carrier (LCC) di industri airline. Tapi menurut saya LCC itu adalah model bisnis yang luar biasa yang merupakan buah dari kejelian efisiensi biaya. Ada yang berpendapat bahwa harganya bisa murah karena tidak ada biaya sewa kantor, sewa pool, listrik kantor dst, dst. Tapi tunggu dulu, apa betul taksi online tidak perlu kantor dan listrik, tentu masih perlu. Mungkin kita bisa benchmark di salah satu penyedia transportasi online motor bermarkas di kantor besar di daerah Kemang, Jakarta.
Oke, memang ada efisiensi biaya, terutama dari penyediaan armada, penyediaan lahan untuk pool armada, tapi saya melihat efisiensi biaya terbesar terutama dari perizinan. Kita tahu bahwa untuk mengantongi izin angkutan bukan perkara mudah, bahkan jumlah armada taksi di satu kota saja sebenarnya dibatasi. Bahkan SIM untuk kendaraan umum saja seharusnya berbeda, dan biaa pembuatannya pun berbeda. Yang kedua tentu masalah pajak yang menjadi beban perusahaan taksi reguler.