Hiruk pikuk rencana konser Lady Gaga di Jakarta mungkin hanya didengar dan diperhatikan oleh sekelompok kecil masyarakat saja (bila dibandingkan dengan total jumlah penduduk Indonesia). Bagi mayoritas rakyat Indonesia, jadi atau tidaknya konser penyanyi kontroversial tersebut tidaklah penting bagi mereka.
Sudah banyak tulisan, kicauan, pernyataan soal ini yang dimuat di berbagai media. Pengamatan sepintas penulis, sisi yang banyak disoroti adalah soal 'moral' bangsa, figur Lady Gaga yang kontroversial, izin penyelenggaraan, serta sepak terjang Front Pembela Islam (FPI). Serangkaian perdebatan pun bermunculan mulai dari soal yang relatif sepele hingga yang 'berat' karena menyerempet masalah agama dan penyelenggaraan pemerintahan.
Penulis sendiri lebih tertarik kepada promotor konser Lady Gaga. Siapakah mereka? Seperti apa rekam jejak mereka? Bagaimana cara kerja mereka?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut membawa penulis kepada nama "Big Daddy Entertainment" (http://bigdaddy.co.id/). "Big Daddy" sendiri merupakan brand atau merek yang dimiliki oleh PT Prima Jaya Kreasi yang didirikan pada tahun 2010 yang lalu. Dari website mereka terlihat tiga jenis kegiatan yang mereka tangani, yaitu konser musik, pertandingan olah raga bela diri, dan pertunjukan keluarga Disney On Ice.
Khusus untuk konser musik, hanya nama penyanyi Elton John dan Lady Gaga yang tercantum di website mereka. Penulis tidak mengetahui apakah memang baru kedua penyanyi itu saja yang ditangani atau tidak. Namun bila menilik pada tanggal pelaksanaan kegiatan dan informasi di website, terlihat bahwa konser Lady Gaga merupakan event pertama bagi mereka dalam kategori konser musik (mohon koreksi bila ini keliru).
Dari sini bisa saja timbul penilaian atau kesan bahwa mereka belum memiliki pengalaman dalam penyelenggaraan konser musik yang menjadikan musisi internasional sebagai bintangnya sehingga berdampak pada munculnya kabar pembatalan konser Lady Gaga. Bila kita perhatikan berbagai berita yang beredar, terkesan promotor belum mengantongi izin konser dari pihak kepolisian namun sudah berani menjual tiket konser ke publik.
Tanpa bermaksud menghakimi, layak kiranya jika kita mempertanyakan cara kerja promotor-promotor hiburan tanah air. Dengan tidak menafikan berbagai penyelenggaraan acara yang sukses, kita pantas mempertanyakan kepada para promotor tentang mekanisme kerja mereka. Apakah dibenarkan menjual tiket meski belum mengantongi izin dari pihak-pihak yang berwenang? Apakah memang hanya keuntungan materi saja yang mereka kejar dan tidak peduli terhadap kondisi dan dampak sosial bagi masyarakat yang ditimbulkan oleh kegiatan mereka?
Pertanyaan-pertanyaan ini sekali lagi tidak untuk menghakimi pihak mana pun. Kita layak bertanya karena didorong oleh rasa ingin tahu bukan oleh keinginan untuk merasa pendapatnya yang (paling) benar dan yang lain salah. Serangkaian pertanyaan tersebut juga sekaligus bisa menjadi bahan refleksi untuk dua hal berikut:
(1) Selalu berupaya mencari tahu terlebih dahulu sebelum menghakimi. Bahkan bila perlu, jangan lakukan tindakan "penghakiman".
(2) Fokuslah pada substansi masalah atau persoalan. Banyak sekali pernyataan-pernyataan yang bila dicermati sangat jauh dari substansi persoalan.
Makassar, 17 Mei 2o12