Lihat ke Halaman Asli

Syukur

Diperbarui: 24 Juni 2015   03:23

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di negeri ini masih sering kita dengar ada orang yang masih hidup dalam kelaparan. Padahal, dalam budaya nusantara acara syukuran hampir setiap hari diadakan, mulai kelahiran bayi, pungut mantu, bangun rumah, beli motor baru, habis digebuk orang, selamat dari musibah, sampai kematianpun disyukuri. Kalau kita rajin datang ke acara syukuran seharusnya kita bisa makan 3 sampai 5 kali sehari. Mengapa masih ada yang lapar? How come?

Mungkin saja kita sudah kurang bersyukur. Mungkin saja ada diantara kita merasa tidak puas dengan apa yang dimiliki lalu mencari cara agar mendapat lebih meskipun harus merampas hak orang lain. Dalam agama Islam diwajibkan bagi umatnya untuk mengunjungi orang mati agar kita mengingat kematian. Dengan demikian nafsu berlebihan terhadap materi dunia dapat tertekan. Rasulullah bersabda, “ ingatlah dunia seola-olah kamu hidup selamanya, dan ingatlah akhirat seolah-olah kamu mati besok”. Hidup itu harus ada keseimbangan.

Beberapa hari yang lalu saya mengikuti sebuah program yang bernama Disaster Risk Reduction (DRR). Program tersebut didukung oleh beberapa badan dunia yang telah mengeluarkan dana jutaan dolar untuk penanggulangan bencana dan kesehatan mental bagi para korban yang trauma karena bencana. Salah satu program itu adalah penyuluhan bagaimana melupakan trauma akibat bencana dengan berbagai macam metode konseling dan trauma healing modern.

Bagi sebagian umat Islam hal ini dianggap aneh. Sebuah bencana bagi umat Islam adalah peringatan. Ada hikmah dibalik sebuah bencana, ada pelajaran yang dapat dipetik bagi yang selamat dari bencana. Kalau dengan begitu mudah kita melupakan bencana lalu dimana hikmahnya bencana? Dimana pelajarannya?

Yang mengejutkan, sebagian masyarakat Aceh menginginkan ada operasi militer lagi di Aceh. Karena kesulitan mendapat pekerjaan dan kemiskinan saat ini lebih parah daripada masa konflik. Dengan APBD puluhan trilyun tapi pengelolaan yang amburadul dan sebagian besar kekayaan daerah dikuasai oleh satu kelompok, masyarakat Aceh harus rela hidup dalam pengangguran dan kemiskinan. Bencana tsunami 9 tahun yang lalu belum bisa menjadi pelajaran.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline