Seluruh umat manusia di era milenial ini tentu mendambakan tempat tinggal. Berupa sebuah rumah yang sesuai idamannya. Dan tentunya merupakan milik pribadi. Walaupun rumahnya bagus tapi kalau cuma ngontrak, kan sama saja bohong. Itu bukan miliknya. Hanya sebatas tempat persinggahan sementara. Seperti dunia ini yang juga tempat berteduh sementara. Tujuannya akhirat. Maka rajinlah berbuat baik sebagai bekal kita nanti, apalagi sesama manusia. Sebab, sejatinya manusia adalah yang bermanfaat bagi umat manusia lainnya. Apa yang hendak dilakukan oleh Maybank KPR, misalnya, merupakan upaya menuju manusia yang sejati. Membantu untuk mewujudkan rumah impian anda sekalian. Begitu mulia. Eh, malah ceramah.. hehehe
Tentunya, rumah tidak sekedar sebagai tempat hunian untuk terhindar dari hujan, panas dan sebagainya. Lebih dari itu, rumah juga menjadi penanda tentang kejelasan alamat tempat tinggal kita. Maka sebaik-baik rumah kontrakan, akan lebih baik dan afdhal jika memiliki rumah sendiri. Apalagi jika diperoleh dengan perjuangan yang begitu keras. Dan mengkredit rumah, semua orang sependapat bahwa hal demikian adalah perjuangan. Demikianlah hidup ini, jarang ada yang instan. Kecuali keberuntungan. Selebihnya, Harus butuh perjuangan.
Selain itu, ukuran kenyamanan sebuah tempat tinggal, tentu tidak hanya dilihat dari sisi rumahnya saja. Ada peran penting lingkungan sekitar dalam menunjang kenyamanan. Seperti lingkungan yang sehat, aman, sejuk, damai, semuanya poin-poin yang harus diperhatikan agar dapat mendapatkan suatu kenyamanan.
Sebelum saya memutuskan seperti apa rumah idaman, saya akan memulai dengan bagaimana harus memperoleh rumah tersebut. Saya lebih menyarankan untuk mengkredit rumah. Akan saya paparkan alasannya.
Saya pernah ikut bantu-bantu (saya lebih suka sebutnya bantu-bantu daripada bekerja, sebab waktu itu tidak terikat) salah seorang senior dari kampung yang juga merantau di kota. Dia sudah sekitar 7 tahun menjadi developper. Semenjak saya disitu, ada beberapa alasan yang menurut saya kenapa lebih baik kredit daripada cash.
Di kota saya khususnya (tapi sebagian besar kota di Indonesia juga sama) masyarakatnya adalah Pegawai Negeri Sipil (PNS). Nah, bayangkan, untuk ukuran gaji PNS apa tidak sulit kalau harus cash rumah?. Harus berapa tahun untuk bisa mengumpulkan uang. Belum lagi kebutuhan lainnya. Apalagi semakin tahun harga tanah dan rangka rumah terus meningkat. Saya rasa PNS juga pasti akan lebih sepakat untuk memilih kredit.
Tapi bagaimana dengan yang statusnya wiraswasta? Kan penghasilannya tidak tetap. Tidak diminta-minta pertengahan jalan mereka tidak memiliki penghasilan yang cukup untuk bayar cicilan, kan susah juga. Sementara kalau terus menabung, juga tidak ada kepastian. Bisa cepat, bisa juga lama, bahkan sama skali tidak akan dapat membeli rumah. Sampai akhir hayatnya Cuma menjadi "kontraktor", kontrak sana kontrak sini. Semoga kita semua dijauhkan dari hal demikian. Ammiinn.
Untuk itu, melalui tulisan ini, saya tidak ingin berfokus pada custumer saja. Menurut saya, Bank selaku salah satu pihak yang terlibat dalam KPR (Kredit Pemilikan Rumah), harus melakukan terobosan baru guna membantu kegalauan para kreditor rumah.
Saya pernah terlibat diskusi dengan salah satu Owner perumahan syariah. Perusahaan mereka tidak lagi melibatkan sebuah Bank dalam KPR. Kok bisa? Yaa bisa, yang penting punya modal yang cukup besar. Niatnya bulat.
Ada beberapa hal yang perlu menjadi perhatian serius pihak Bank terhadap prosedural KPR.
Umumnya, ketika hendak melakukan kredit rumah, antara pihak costumer dan Bank, rata-rata menyepakati perjanjiannya adalah jual-beli. Nah, logika jual-beli berarti barang yang telah dibeli merupakan hak milik penuh oleh pembeli. Tetapi, ketika costumer ternyata memiliki kendala dalam pencicilan, kemudian masuk jatuh tempo, biasanya rumah langsung disita dan di anggap hangus. Inikan rancu. Rumah yang sudah di jual masa di ambil lagi.