Mungkin beebrapa diantara kita ada yang belum tau mengenai kisah cerita rakyat Buto Ijo dari wilayah jawa ini. Sedikit kisah mengenai cerita tersebut, bahwasanya seorang nenek yang lanjut usia dan ditinggal mati oleh suaminya sudah berat untuk bekerja di ladangnya dan berharap ada seorang anak yang akan membantunya serta menemani hari tuanya. Tak disangka ia pun bertemu suatu makhluk raksasa hijau yang dikenal dengan Buto Ijo dan membuat perjanjian dengan memebrinya sebuah kacang polong yang akan menjadi seorang anak kelak. Dan pada waktu yang ditentukan ia akan mengambil kembali kacang polong yang telah menjadi anak dewasa itu untuk dimakan.
Disini ada perjanjian yang sah antara buto ijo dan sang nenek. Namun, dalam perjalanannya sang nenek sangat menyayangi si anak dan tak ingin anak itu diambil dan dimakan oleh sang raksasa. Singkat cerita saat sang raksasa ingin mengambil kembali haknya yang sesuai perjanjian, si nenek dan si anak malah melawan dan berusaha untuk menghilangkan si raksasa agar hidup mereka berakhir bahagia.
Dari sisi cerita sang raksasa dianggap sebagai watak jahat yang memakan manusia, dan si nenek sebagai orang baik yang menolong anak tak berdosa selamat dari kematian. Namun, hal ini tak berbeda dari kisah negeri ini. Saat seorang telah memberikan pinjaman pada orang yang meminjam, namun pada saat yang telah disepakati dengan janji dan persyaratan yang sah malah dianggap sebagai orang jahat yang ingin merampas sesuatu yang sejatinya bukanlah haknya. Akhirnya banyak diantara masyarakat Indonesia yang selalau bermain sebagai korban dan menyalahi orang lain yang mungkin telah membantunya.
Contoh nyata seperti pinjaman online yang merebak. Semua telah memahami konsekuensi dari pinjaman dan adanya riba didalamnya, namun tetap menyepakatinya. Hal berikutnya saat hak sang peminjam diminta, peminjam enggan bahkan menganggap sang pemberi pinjaman sebagai orang jahat. Sungguh miris. Dari kisah ini kita melihat bagaimana cerita yang salah dalam kerangka tradisi dapat berakibat fatal terhadap mental. Sesungguhnya masih banyak cerita lain yang juga berdampak buruk bagi filsafah hidup bangsa Indonesia seperti kisah sikancil, kisah tujuh bidadari yang mandi disungai atau kisah lainnya. Walaupun, adanya kisah juga yang bernilai sangat mendidik dalam cerita rakyat seperti malin kundang sebagai salah satunya, kita perlu untuk memilah kembali tradisi yang mungkin saja menjadikan bangsa kita menjadi seperti saat ini.
Jangan pernah melupakan sejarah dan darimana kita lahir, namun kita sebagai manusia cerdas juga perlu memahami bahwa Allah telah menjadikan kita khalifah dibumi untuk menjadi pengelola alam ini untuk menggunakan potensi kita dalam berpikir rasional dan terdidik. Bukan mengikuti dengan buta apa yang telah dipahami dan dipelajari secara turun temurun dan menerimanya sebagai suatu yang benar. Oleh sebab itu, rasul diturunkan pada masyarakat jahiliyah yang menggunakan dasar tradisi dengan mengucapkan kami hanya melakukan apa yang nenek moyang kami lakukan, tanpa berpikir mengenai hakikat fitrah manusia yang benar untuk berpikir rasional dan mengikuti perintah Allah yang telah menciptakannya.
Buto ijo mungkin adalah kisah fiktif di tengah-tengah masyarakat modern saat ini. Namun sifat sang nenek masih tercermin dalam kehidupan masyarakat kita, janji-janji politik yang tak pernah terealisasi namun saat bencana dan pengingkaran terjadi, kita hanya bisa gigit jari dengan dalih untuk Indonesia yang lebih baik. Sebuah pepatah lebih baik dalam menjawabnya "apa yang kau tanam, itulah yang kau tuai".
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H