Lihat ke Halaman Asli

M Hadi Saputra

Peneliti di Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan (BP2LHK) Aek Nauli

Tangis di Sudut Khatulistiwa

Diperbarui: 14 Desember 2021   11:41

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Ia adalah seorang anak kecil di desa terpencil di sudut khatulistiwa. Tangan lusuh dan kerdil dipakai untuk mengangkut ranting di belantara hutan. Ditemani ibu yang sudah lusuh berbalut keringat mengangkut kayu besar diatas bahu. Mereka berjalan di tengah rimba. Mengais rezeki untuk makan hari itu, karena dirumah sang ayah berbaring lumpuh. Tak sanggup membantu sebagai tulang punggung yang rapuh. 

Pukul 12.00 matahari meninggi. Mereka pulang dengan uang seadanya. Hasil menjual kayu dan ranting. Walau tak banyak, cukup untuk membawa lauk tahu dan ikan teri, untuk dimakan beserta roti, pemberian tengkulak di pasar tadi. Tak terasa sudah puluhan tahun mereka hidup seperti ini. Tanpa sanak saudara dan tetangga yang jauhnya ratusan kilo dari gubuk kecil mereka. Tinggal di pedalaman hutan tanpa listrik membuat mereka harus menjalani hari seperti manusia primitif. 

Memang mereka adalah orang-orang terbuang oleh zaman. Terhapus oleh jejak sejarah kelam. Saat sang ayah merantau jauh ke pedalaman negeri namun ternyata tertipu dan tak sanggup untuk bertahan. Berpuluh tahun yang lalu, sang ayah dan ibu yang lahir dari keluarga miskin di pulau besar harus merantau jauh, karena kehidupan di kota sudah tak lagi mampu memberi harapan. Mereka pergi dengan imng-iming pekerjaan yang layak dengan gaji yang besar di tengah pedalaman rimba. Di kepalai perusahaan besar dengan rumah yang dapat mereka tinggali. Namun sayang, hal itu hanya tipuan. Uang yangtelah mereka keluarkan telah habis untuk membayar di sepenipu. tak ada yangtersisa selain baju di badan dan kandungan yang semakin membesar. 

Pilihan sulit bagi sang ayah, untuk tinggal atau pergi dengan mengemis pada setiap orang. Namun sayang, negeri ini telah hilang harapan. tak ada yang mau membantu bahkan melihat mereka. Karena perantauan adalah lahan keras yang mana lemah akan mati dan kuat akan bertahan. Tekanan batin yang semakin besar membuat sang ayah membangun mimpi dari sebuah gubuk kecil ditengah rimba, sambil mengangkat kayu-kayu tebangan untuk dijual. sang ibu melahirkan di dalam gubuk sendirian. Berjuang dengan menggengam harapan. Memegang pasak kayu sebagai tiang gubuk untuk bertahan dari sakit yang tak tertahan. 

Tangisan kecil menerangi gubuk itu. Sang ayah yang pulang bersimbah peluh langsung memeluk dan memotong tali pusarnya. Sang ibu dengan menahan sakit menangis. Mereka telah melahirkan harapan. Putri kecil mereka menjadi tenaga besar yang mendorong untuk berusaha. Mereka ingin membawanya dengan tangan dan keringat mereka. Untuk hari yang lebih baik.

Naas tak dapat di bendung, sang ayah terserang sakit aneh. Orang bilang itu kutukan dari rimba atas mereka yang merusak dan menghancurkan alam. Tak ada daya untuk membantu. Sang ayah hanya terbaring dengan mata kosong dan raga yang tak bergerak kaku. Kini putri kecil harus berjalan, membantu sang ibu mencari kayu dan ranting untuk melanjutkan hidup hari ini.

Sang ibu memasak nasi dengan kayu dan ranting diatas panci tua. Memasak bekal yang mereka dapat hari itu. Sang putri menemai sang ayah. Bercengkrama tentang kisah ia dan ibu hari itu. Ia paham, sang ayah tak mampu menjawabnya. Namun ia yakin, sang ayah dalam tatapan kosongnya, sedang senyum dan bertawa dengannya. malam yang dingin akhirnya tiba. sang putri menggigil, tak tau kenapa. Sang ibu yang sendiri tak mampu berbuat apapun. Hanya memeluk dan berdoa dalam hatinya. "jangan kau panggil lagi harapan kami". Tepat pukul 12.00 malam itu. Di bawah gemuruh hujan dan petir yang ganas. si kecil menghembuskan nafasnya. Ia mati dengan kutukan hutan yang sama merenggut nyawa ayahnya dulu. Sang ayah sesungguhnya telah terbaring lama tanpa nafas. dan busuknya bangkai tubuhnya tertutup dengan impian sang ibu dan putrinya. Menunggu keajaiban muncul.

Tangis malam itu tak tergambarkan. Sang ibu sendirian memangku harapannya. Ia hanya dapat menerima dalam sakitnya jiwa, bahwa ini kehendak-Nya. Ia kan menyusul mereka, bertemu untuk hidup abadi selamanya.      




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline