Pada perhelatan KTT ASEAN 2011 di Bali beberapa waktu yang lalu. Ada fenomena yang terkesan janggal bila dilihat dari posisi kedaulatan politik dan ekonomi. Hadirnya negara-negara dari luar anggota ASEAN menimbulkan banyak kecurigaan, terlebih lagi ketika Presiden Amerika Serikat Barrack Obama dan Menteri Luar Negeri AS Hillary Clinton juga datang. Terasa betapa sangat penting sekali KTT ASEAN bahkan bagi negara yang bukan anggota ASEAN.
Salah satu peristiwa yang paling mengejutkan adalah terjadinya kegiatan penandatanganan perjanjian pembelian pesawat buatan Boeing oleh maskapai penerbangan nasional yaitu Lion Air. Dikatakan mengejutkan karena memang perjanjian ini sangatlah fantastis, nilai total pembelian 230 pesawat jenis B737 ini mencapai 21,7 miliar USD (sekitar Rp195 Triliun). Bahkan terkesan fantastis bagi Boeing sendiri karena pembelian ini adalah kegiatan pembelian pesawat terbanyak dan nilai pembelian terbesar selama sejarah Boeing.
Menurut pernyataan Lion Air pembelian pesawat memang harus dilakukan mengingat minat masyarakat Asia terhadap kebutuhan transportasi menggunakan pesawat terbang sedang meningkat pesat. Terlebih lagi Lion Air ingin mengungguli maskapai penerbangan di rute Asia yang saat ini terkesan dikuasai oleh maskapai asing seperti Air Asia.
Perjanjian pembelian pesawat ini terkesan dipaksakan karena apakah memang dibutuhkan pesawat baru dengan jumlah yang sangat banyak yaitu 230 pesawat. Terlebih lagi pesawat belum diproduksi dan diperkirakan baru akan dikirim pada tahun 2017. Pembelian pesawat ini juga merugikan dari sisi teknologi. Tipe pesawat B 737 MAX dan B737-900ER mungkin sangat baik untuk saat ini tapi nanti di tahun 2017 mungkin akan dirilis tipe pesawat dengan teknologi lebih baru.
Bahkan penandatanganan perjanjian pembelian pesawat Boeing ini disaksikan langsung oleh Obama. Secara jelas diakui pula oleh Obama bila hasil dari pesanan Lion Air terhadap Boeing akan mampu menciptakan lapangan kerja baru bagi 100.000 tenaga kerja di AS. Semakin terkesan ada unsur pemaksaan di sini, Indonesia melalui Lion Air dipaksa untuk membeli pesawat terbang dalam jumlah sangat banyak untuk mampu membuka banyak lapangan pekerjaan di AS dan menyelamatkan AS dari krisis ekonomi global.
Kenyataan ini membuat geram bagi para pengamat di Indonesia, kenapa juga nilai kontrak yang begitu besar tidak diusahakan saja untuk dilakukan kerja sama dengan perusahaan dalam negeri. Terlebih lagi kita masih memiliki PT DI (Dirgantara Indonesia) yang sejak lama BUMN ini memang dikhususkan sebagai tempat untuk memproduksi pesawat terbang. Mengapa nilai uang yang begitu besar harus dibuang ke luar negeri bila di negeri sendiri kita mampu untuk membuat pesawat terbang sendiri dan sedang membutuhkan dana untuk membangkitkan kembali PT DI.
Alasan pemerintah tidak memiliki wewenang terhadap perjanjian pembelian pesawat tentu tidak masuk akal. Sekalipun Lion Air adalah maskapai penerbangan swasta namun nyatanya perjanjian bisnis dilakukan di acara kenegaraan seperti di KTT ASEAN. Seharusnya pemerintah mampu mengarahkan agar Lion Air bisa bekerja sama dengan PT DI.
Keberadaan PT DI saat ini bisa dibilang memprihatinkan, perusahaan yang terletak di Bandung ini sedang memiliki utang dalam jumlah beberapa triliun. PT DI sempat mengalami kejayaan pada tahun 90-an dengan mampu menghasilkan produksi dan inovasi beberapa pesawat terbang kelas dunia ketika itu, kemunduran PT DI berawal pada sekitar tahun 2000 ketika IMF meminta kepada Indonesia untuk membatasi kucuran dana kepada PT DI karena dianggap akan mempengaruhi kestabilan ekonomi Indonesia yang saat itu masih dalam suasana krisis moneter. Keputusan pemerintah yang mematuhi permintaan dari IMF sangat disayangkan karena ketika itu PT DI justru sedang bergerak maju dan bahkan telah menerima banyak pesanan dari luar negeri untuk mulai memproduksi pesawat terbang.
Saat ini PT DI membutuhkan kucuran dana dalam jumlah yang sangat besar karena dibutuhkan untuk membayar utang, menjaga kestabilan kegiatan operasional PT DI serta memperbaiki sarana infrastruktur PT DI agar sesuai dengan perkembangan teknologi industri pesawat terbang saat ini. Sayangnya pemerintah justru terkesan tidak peduli terhadap PT DI dan membiarkan Lion Air melakukan pembelian pesawat terbang kepada Boeing.
Ada baiknya bila perjanjian antara Lion Air dengan Boeing mampu pula untuk melibatkan PT DI di dalamnya. Bisa saja dengan cara sebagian dari seluruh total produksi pesawat dikerjakan di Bandung. Sehingga bisa tercipta keadaan saling menguntungkan bagi Lion Air dan PT DI. Permintaan pesawat dari Lion Air dapat terpenuhi dan PT DI memiliki proyek dengan nilai dana begitu besar yang bisa dimanfaatkan untuk mulai membangkitkan kembali keadaan finansial PT DI.
Slogan pemerintah agar masyarakat mencintai produk dalam negeri sepertinya hanya bualan saja. Karena kenyataannya pemerintah tidak memiliki komitmen yang tegas untuk memberikan apresiasi terhadap produk buatan dalam negeri. Pemerintah tidak memiliki kemauan yang kuat untuk mampu mandiri dan tidak mendahulukan kepentingan negeri sendiri dibandingkan dengan tekanan dari pihak asing.
Tentunya sampai kapan pun negara ini akan sangat sulit untuk maju bila keputusan yang dibuat oleh pemerintah sama sekali tidak berpihak kepada rakyat. Bahkan pemerintah membiarkan dana begitu besar mengalir kepada perusahaan asing padahal seharusnya bisa diarahkan kepada PT DI yang notabenenya merupakan perusahaan milik negara mengingat kedudukan PT DI sebagai bagian dari BUMN. Untuk selamanya negeri ini akan terus melarat karena memiliki pemerintah yang tidak peduli kepada rakyat dan tidak melakukan perlindungan terhadap negara atas kegiatan kapitalisasi yang dilakukan oleh negara asing serta tidak mengutamakan kepentingan bangsa dalam melakukan kegiatan pemerintahan.
Sumber gambar:
http://www.indonesian-aerospace.com/gallery/images/n250_10.jpg
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H