[caption id="attachment_122206" align="aligncenter" width="640" caption="Labbiang, bersama kembarannya di bagian perutnya, 46 tahun dibawanya. (foto : mfaridwm)"][/caption] NAMA sebenarnya adalah Lukman, namun oleh warga sekitar lingkungan tempat tinggalnya di Kampung Bontojai, Kelurahan Sibatua, Pangkajene – Pangkep lebih mengenalnya dengan panggilan Labbiang. Disebut demikian karena beberapa orang tua di Bontojai masih dapat mengingat dengan jelas proses kelahirannya 46 tahun lalu, bersama kembarannya yang melengket pada bagian perutnya. Labbiang, labbi atau a’labbi artinya berlebih atau tambahan. Disebut demikian karena oleh masyarakat sekitar dianggap bagian tubuhnya berlebih, meski itu kembarannya yang seharusnya dipisahkan, namun oleh orang tuanya lebih memilih untuk mendiamkannya sampai Lukman besar dan menikah, bahkan kini telah berkeluarga dengan 9 orang anak.
Tak banyak orang yang mengetahui bahwa Labbiang punya kembaran yang masih terus melengket di bagian perutnya, kecuali keluarga dekatnya. Kesehariannya dijalaninya dengan penuh kesabaran mencari nafkah dengan bertani. Belakangan dia mencoba peruntungan sebagai pabentor (pengemudi becak motor) . Saat mengemudikan bentornya, kembarannya yang melengket pada bagian perutnya tersebut ditutupinya dengan sarung. Tak ada sedikitpun terbersit dipikirannya untuk memisahkan kembarannya tersebut dengan jalan berobat dan operasi. Tentu selain karena malu diketahui punya ‘kelainan’ seperti itu, Labbiang juga berasal dari keluarga tidak mampu yang untuk memenuhi kebutuhan sehari – hari saja harus berjuang keras menafkahi keluarganya.
***
Pekan lalu, tepatnya tanggal 5 Juli lalu, Labbiang terpaksa harus merelakan dirinya dilarikan keluarganya ke Rumah Sakit. Kelainan yang selama ini disembunyikannya selama puluhan tahun, bahkan disaat dirinya sudah bercucu terpaksa harus diketahui pihak Rumah Sakit dan masyarakat luas. Pada bagian perutnya dimana terdapat kembarannya, terjadi pembengkakan dan bernanah. Kanker telah menggerogoti tubuhnya dan kini, Labbiang hanya bisa pasrah terbaring di ruang isolasi RSUD Pangkep.
Pelaksana Tugas (Plt) Direktur RSUDPangkep, Frans Demmanaba, mengakui bahwa untuk mengobati Labbiang, ia harus dirujuk ke Makassar karena peralatan RSUD setempat belum mendukung, apalagi ia harus menjalani magnetic resonance imaging (MRI). “Disini kita hanya bias mengobati lukanya”, ujarnya. Hal yang sama diungkapkan dr Siswanto Wahab, Ketua Wilayah II IDI (Ikatan Dokter Indonesia) Sulsel,“Kembaran yang melengket di perutnya mengalami pertumbuhan tak sempurna. Karena kembarannya telah mati, otomatis berdampak pada terganggunya jaringan lain yang berhubungan, terutama pada bagian perut. Khawatirnya terjadi metastase, yaitu penyebaran kanker dari jaringan yang rusak ke jaringan yang normal”, jelasnya.
Meski sudah dijelaskan demikian oleh dokter ahli, tidak mudah membujuk Labbiang agar mau dirujuk ke Makassar.Seperti yang pernah diungkapkan Lurah Sibatua, H Bachtiar yang menemui penulis di Kantor Humas Pemkab setempat, mengungkapkan bahwa dirinya dan keluarganya masih membujuk Labbiang agar mau dirujuk ke Makassar. “Mengenai biaya pengobatan dan operasinya, saya telah mendapat instruksi dari Pak Bupati, agar melanjutkan pengobatannya sampai tuntas. Biaya sepenuhnya ditanggung Pemkab Pangkep. Tapi susah juga yah, kalau yang bersangkutan sendiri tidak mau diobati”, ungkapnya seraya masih berharap Labbiang mau dirujuk ke Makassar. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H